Idealnya sebuah destinasi wisata yang dibangun dengan basis warisan budaya seperti Kawasan Keraton Ratu Boko, harus bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Hal ini selaras dengan Pasal 3 UU Nomor 10 Tahun 2011 yang menyebutkan Pelestarian Cagar Budaya bertujuan: (1) melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, (2) meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya, (3) memperkuat kepribadian bangsa, (4) meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan (5) mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Indikator keberhasilan pengelolaan pariwisata warisan budaya seharusnya mencakup empat elemen penting yaitu: adanya aktifitas ekonomi, adanya dukungan sosial, adanya manajemen situs warisan, dan lingkungan situs pariwisata warisan yang selaras, mengutip dari Ngamsomsuke, Hwang, dan Huang (2011). Keempat aspek ini belum sepenuhnya tercapai dalam pengelolaan Kawasan Keraton Ratu Boko,
Kawasan Keraton Ratu Boko belum sepenuhnya menjadi penolong bagi masyarakat miskin yang ada disekitarnya untuk entas dari kemiskinan. Faktanya, Kecamatan Prambanan sendiri saat ini memiliki sekitar 12,53% atau 2.315 KK miskin. Sebarannya, Sumberharjo (625 KK), Wukirharjo (185 KK), Gayamharjo (275 KK), Sambirejo (325 KK), Madurejo (530 KK) dan Bokoharjo (375 KK). Padahal realisasi keuangan dalam tahun 2019 menunjukkan laba setelah pajak sekitar 100,71% dari target dari pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur, Candi Prambanan, Keraton Ratu Boko dan unit-unit usaha lainnya.
Disampaikan pada Seminar Series Kepariwisataan (Selasa, 1 Desember 2020) dengan tema: ‘Pariwisata Warisan Budaya Di Kawasan Keraton Ratu Boko, Ketimpangan Dalam Pengelolaan?’. Dr. Maria Tri Widayati, alumni S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM, yang saat ini adalah dosen di Politeknik “API” Yogyakarta menyoroti permasalahan pengelolaan Kawasan Keraton Ratu Boko yang selama ini dinilai belum maksimal menghadirkan kesempatan berusaha dalam bidang pariwisata pada masyarakat.
Seminar Series Kepariwisataan diadakan oleh Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UGM. Pemantik diskusi adalah Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S sebagai penanggap dalam seminar ini bersama dengan Ibu Ari Setyaningsih dan Bapak Indung Panca Putra dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY). Dr. Yulia Arisnani Widyaningsih, MBA, Ph.D sebagai moderator. Seminar ini diikuti oleh sekitar 80 orang baik mahasiswa maupun masyarakat umum.
Dr. Maria mengatakan bawah hal krusial yang menjadi penyebab pengelolaan Candi Ratu Boko belum maksimal adalah terpusatnya pengelolaan oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Bahkan dapat dikatakan monopoli PT. Taman Wisata Candi sangatlah besar. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh masyarakat saat Dr. Maria melakukan interview dan focus group discussion. Permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah: 1) persoalan penguasaan tanah di situs Kraton Ratu Boko, yaitu zona 1 yang seharusnya steril masih ada pemukiman warga; (2) masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan; dan (3) petugas di pintu masuk tidak memberikan toleransi kepada warga.
Selain itu permasalahan juga terjadi antara pengelola. Misalnya, pengelola berasal dari kementerian yang berbeda, serta kepentingan yang berbeda pula, PT TWC BPRB belum sepenuhnya melibatkan pemangku kepentingan lain dalam pengelolaan Taman Wisata Kraton Ratu Boko, terjadi ketidakseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan dan koordinasi ditingkat bawah/lapangan yang masih rendah.
Secara detail, Dr. Maria menguraikan bahwa BPCB tidak memperoleh pendapatan langsung dari PT. Taman Wisata Kraton Ratu Boko, namun mendapatkan dana pengelolaan secara tidak langsung melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman sebesar 500 juta/tahun untuk perlindungan dan pelestariannya. Ironisnya mulai tahun 2015/2016 anggaran untuk pelestarian tersebut dihentikan. Jadi BPCB DIY tidak lagi mendapatkan dana tersebut dalam pelestarian Kawasan Keraton Ratu Boko. Sedangkan gaji Direktur utama serta Direktur PT TWC BPRB berkisar sekitar 100.000.000 – 120.000.000 per bulan.
Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S sebagai pembahas mengatakan bahwa sebenarnya Kawasan Keraton Ratu Boko secara ekologis berada di tempat yang tepat, tidak seperti Prambanan yang sering banjir. Seolah olah arsitek jaman dulu telah mengerti ilmu fisika lingkungan ‘hukum bejana berhubungan’ yaitu ada air diantara bukit bukit. Cerita cerita seperti inilah yang sebenarnya perlu untuk disampaikan kepada pengunjung dan generasi muda. Prof. Heddy sebagai peserta diskusi menyoroti pentingnya mengintegrasikan prasasti dan situs arkeologi yang ada disekitar Boko dan Prambanan. Lalu dirangkum dan dimasukkan dalam ‘story telling’ yang tepat sehingga lebih menarik bagi wisatawan dan generasi muda.
Dr. Maria menyampaikan pesan penting dari hasil risetnya di Candi Ratu Boko, bahwa sebuah situs warisan budaya yang dikelola untuk pariwisata harus tetap bisa dilestarikan, dan harus bisa memberikan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu masih ada satu tahapan lagi yaitu membuka akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pariwisata sehingga sama sama mendapatkan benefit dari pariwisata dan bersama-sama pula menjaga agar situs tetap lestari.