Universitas Gadjah Mada Program Studi Kajian Pariwisata
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • TENTANG KAMI
    • Pengelola
  • Program Magister
    • Visi & Misi
    • Dosen Pengajar
    • Mata Kuliah
  • Program Doktor
    • Visi & Misi
    • Dosen Pengajar
    • Mata Kuliah
  • GALLERY
  • KONTAK
  • Beranda
  • Berita
Arsip:

Berita

Kuliah Dosen Tamu: Pariwisata Pasca Pandemik COVID19

Berita Selasa, 25 Oktober 2022

Prodi Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM mengedepankan pengetahuan lintas disiplin dan kebaruan dalam ilmu kepariwisataan. Pengetahuan lintas disiplin dan kebaruan dalam bidang pariwisata diwujudkan dalam acara Guest Lecture yang diselenggarakan oleh Prodi Magister Kajian Pariwisata UGM dengan Tema Post-pandemic Tourism Development: Conceptual and Practical Approaches. Acara Guest Lecture tersebut dilaksanakan pada Selasa 25 Oktober 2022.

Narasumber dari acara tersebut adalah Dr. Jasper Heslinga (Senior Lecturer-Researcher at NHLStenden, Program manager at CELTH) dan Menno Stokman (Director Centre of Expertise Leisure, Tourism & Hospitality CELTH, Senior Expert Tourism PUM). Acara tersebut merupakan kuliah umum dengan dosen tamu dan dihadiri oleh mahasiswa Sekolah Pascasarjana serta bersifat wajib bagi mahasiswa aktif Prodi Magister Kajian Pariwisata. read more

Penerimaan mahasiswa baru

Berita Senin, 26 April 2021

Penerimaan mahasiswa baru
Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM 2021

Informasi umum

Daya tampung

Gelombang 1 : 20

Gelombang 2 : 10

Biaya pendaftaran sebesar Rp 500.000,-

Persyaratan umum

Persyaratan umum dapat dilihat pada link berikut

Persyaratan khusus

  • Calon mahasiswa lolos tes wawancara
  • Calon mahasiswa menyiapkan rencana topik penelitian (1 halaman) – template rencana topik penelitian dapat di download disini

SSN Kepariwisataan #11: ‘Dinamika Ekowisata Tri ning Tri di Bali’

Berita Rabu, 7 April 2021

Pariwisata masih menjadi sektor penyedia kesempatan kerja terbesar di Bali dan berkontribusi tinggi pada ekonomi Bali secara umum. Perkembangan kepariwisataan Bali dalam dua dekade terakhir (2000-2019) tetap didominasi oleh produk berupa atraksi-atraksi mass tourism. Salah-satu kecenderungan yang cukup menonjol dari trend tersebut adalah meningkatnya pertambahan atraksi-atraksi pariwisata baru yang sering dinobatkan sebagai atraksi pariwisata berbasis alam. Hampir di setiap kawasan strategis muncul atraksi pariwisata yang disulap dari sekedar atraksi budaya biasa menjadi kawasan tematik, seperti taman yang menghadirkan suasana alam bebas. Kendati demikian, di balik gemuruh perkembangan kepariwisataannya, Bali sebagai destinasi pariwisata, sesungguhnya menyimpan persoalan yang cukup serius, terutama dalam aspek keseimbangan sumber daya alam, kurang meratanya pembagian ‘kue pariwisata’ antar wilayah maupun lapisan masyarkat dan berkurangnya solidaritas sosial.

Topik inilah yang diangkat dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #11 yang diselenggarakan oleh Prodi S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM. Tema yang diangkat adalah ‘Dinamika Ekowisata Tri ning Tri di Bali’. Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. I Nyoman Sukma Arida, S.Si, M.Si dari Fakultas Pariwsata, Universitas Udayana. Dr. Sukma juga merupakan alumni dari S3 Kajian Pariwisata SPS UGM. Hadir sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc, guru besar Fakultas Geografi UGM dan dimoderatori oleh Bayu Sutikno, SE., M.S.M, Ph.D dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Dalam paparannya Dr. Sukma, mengatakan ‘Di tengah situasi demikian, sulit menemukan wujud dari ekowisata Bali. Namun beberapa pihak sejak tahun 1990 an tetap konsisten memperjuangkan berkembangnya ekowisata di Bali — Jaringan Ekowisata Desa.’ Belakangan beberapa desa wisata juga menjadikan aspek konservasi sebagai basis pengembangannya. Dr. Sukma menjelaskan tentang program pendampingan dan promosi desa wisata yang ia lakukan melalui godevi.id. Ada pergeseran nilai keotentikan dan orisinalitas alam Bali yang bercirikan pariwisata budaya yang bernafaskan filosofi Tri Hita Karana. Beberapa atraksi baru yang dikembangkan oleh investor asing dengan kekuatan yang besar akibat terbukanya kebijakan pemerintah untuk membuka investasi asing.

Dr. Sukma menjelaskan temuan dari hasil penelitiannya yang bertujuan untuk memahami tipologi ekowisata di Bali dan kekuatan dominan yang melatarbelakangi munculnya berbagai tipe, bentuk dan wujud produk ekowisata. Ia mengatakan bahwa di Bali ekowisata dapat ditipologikan dalam tiga tipe: yaitu investor, pemerintah dan masyarakat. Masing masing tipe ekowisata memiliki ciri yang berbeda berdasarkan produk, strategi pengembangan, pola pelibatan masyarakat dan karakter wisatawan.

Selain itu Dr. Sukma juga menyoroti adanya pseudo-ekowisata di Bali, atau ekowisata semu. Kegiatan pariwisata Nampak seperti ekowisata padahal peran masyarakat lokal di sekitar obyek ekowisata termarginalkan. Ia juga memberikan contoh kasus di Desa Taro yang muncul sebagai Gerakan desa wisata sebagai perlawanan halus atau counter wacana terharap hegemoni wisata gajah atau sebagai representasi investor besar. Desa Taro merupakan desa dengan tipe ekowisata Hibrid yaitu percampuran antara investor-pemerintah-masyarakat.

Dr. Sukma berharap pendemi Covid-19 dapat menjadi refleksi bagi destinasi wisata di Bali apakah benar yang dilakukan adalah benar benar ekowisata atau pseudo-ekowisata.

Sebagai pemapar Prof. Sudarmadji menyoroti pentingnya keberlanjutan desa wisata atau destinasi ekowisata. Bisa jadi permasalahan terjadi dari pengelolaan maupun dari wisatawan. Sehingga Prof. Sudarmadji menyarankan untuk selalu memperhitungkan kondisi lingkungan ketika mengembangkan obyek wisata yaitu dengan mempertimbangkan kapasitas jangan sampai terjadi overcapacity. Prof. Sudarmadji mengatakan, ‘Jangan sampai lingkungan diabaikan dan hanya berkonsentrasi pada kenaikan pendapatan dan kesejahteraan, karena jika daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui maka akan membuat kerugian yang lebih besar pada semua aspek.’

Diskusi berlangsung dengan baik diikuti oleh sekitar 160 peserta baik mahasiswa, peneliti, pemerhati pariwisata maupun masyarakat luas.

SSN Kepariwisataan #10: Servicescape: Strategi Wisata Kuliner di Yogyakarta

Berita Rabu, 7 April 2021

Bisnis makanan dan minuman adalah salah satu pendukung kegiatan pariwisata. Bisnis kuliner juga masuk 16 subsektor ekonomi kreatif yang memberikan kontribusi terhadap PBD yaitu 41,69%. Bisnis kuliner sangat berkembang di DIY. Hal ini dibuktikan pada tahun 2010, terdapat lebih dari 150 restoran menjadi anggota Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) dan 375 tempat kuliner tahun 2020. Dalam pengembangan wisata kuliner, servicescape merupakan konsep yang sangat penting untuk menjaga kesetiaan pelanggan kuliner. Servicescape adalah konsep yang menjelaskan gaya dan tampilan fisik dari kuliner. Servicescape adalah fasilitas fisik dalam pelayanan untuk kebutuhan tamu untuk mempengaruhi perilaku dan memuaskan tamu dimana design akan memberi dampak positif baik tamu maupun staf/karyawan. Namun demikian, konsen ini masih jarang diekplorasi didalam keilmuan pariwisata maupun diketahui oleh pengusaha kuliner.

 

Topik inilah yang diangkat dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #10, dengan tema Servicescape: Strategi Wisata Kuliner Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembicara pada seminar ini adalah Dr. Sri Sulartiningrum, alumni S3 Kajian Pariwisata UGM. Sebagai pembahas hadir Prof. Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc, dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan dimoderatori oleh Dr. Ir. Muhammad, ST, MT dari Sekolah Pascasarjana UGM. Seminar dilaksanakan secara daring pada tanggal 9 Maret 2021.

 

Dr. Ningrum menjelaskan bahwa dia melaksanakan riset guna mengetahui konsep servicescape dan strategi menarik pengunjung ke restoran etnik dan untuk menganalisis indikator dan kebermanfaatan servicescape bagi wisata kuliner. Dr. Ningrum mengambil studi kasus di restoran etnik Raminten, Bale Raos dan Mang Engking di Yogyakarta.

 

Dari hasil penelitiannya, Dr. Ningrum menyimpulkan bahwa masing masing strategi wisata kuliner di lokasi penelitian menunjukkan adanya faktor budaya yang dominan, dimana faktor budaya mampu merefleksikan servicescape. Pembicara merekomendasikan kepada pengelola restoran etnik untuk meningkatkan servicescape dari segi ambient, desain, citra, perilaku, produk, harga dan budaya supaya dapat meningkatkan loyalitas konsumen. Selain itu Dr. Ningrum menambahkan perlunya papan informasi yang dipasang uuntuk memudahkan pecinta kuliner menemukan restoran etnik tersebut. Dalam sisi akademis, Dr. Ningrum menekankan perlunya memasukan aspek budaya dalam konsep servicescape, untuk dapat menjadi variabel penting saat mengevaluasi servicescape.

 

Sebagai pembahas, Prof. Eni memberikan tanggapan bahwa kuliner dapat berfungsi sangat luas, tidak hanya tentang makanan dan minuman namun menyangkut aspek seperti identity (identitas), dignity (kedaulatan) dan bahkan nasionalisme. Terlihat saat ini masuknya budaya K-pop mempengaruhi selera makan anak anak remaja, terutama mahasiswa nya. Kuliner dapat menjadi media untuk akulturasi budaya dan menunjukkan kedaulatan sebuah bangsa. Sehingga Prof. Eni mendukung perlunya penajaman visi dan misi pengembangan kuliner nusantara karena memiliki peran ganda yang sangat bermanfaat baik untuk pariwisata, ekonomi, pemenuhan aspek pangan, tetapi juga kedaulatan sebuah bangsa.

 

Diskusi berlangsung dengan baik diikuti oleh sekitar 90 peserta baik mahasiswa, peneliti, pemerhati pariwisata maupun masyarakat luas.

SSN Kepariwisataan # 9: Pariwisata Tour de Singkarak: Memudarnya Sebuah Harapan?

Berita Rabu, 7 April 2021

Pariwisata yang berbasis Olah Raga atau ‘Sport Tourism’ pada decade ini mulai dipertimbangkan sebagai kegiatan yang menguntungkan dari sisi ekonomi dan pengembangan pariwisata. Dengan adanya event olah raga diharapkan akan mempromosikan destinasi, mendatangkan atlit dan para penontonnya, meningkatan ekspose destinasi secara lebih luas dan akhirnya meningkatkan pendapatan daerah. Namun demikian, apa yang terjadi jika sebuah event olah raga yg dilaksanakan setiap tahun ternyat tidak mendongkrak kunjungan wisata secara significan? Apakah kegiatan event ini menjadi mubadzir dan perlu dihentikan? Ataukah ada masalah di dalam menghitung kontribusi pariwisata terhadap daerah?

 

Materi diatas menjadi diskusi yang menarik dilaksanakan oleh Prodi S3 Sekolah Pascasarjana UGM, pada hari Selasa, 23 Februari 2021. Hadir sebagai pembicara Dr. Retnaningtyas Susanti, M.Par dosen Universitas Negeri Padang, alumni S3 Prodi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM. Sebagai pembahas adalah Dr. Muhammad Yusuf M.A, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM dan dimoderatori oleh Dr. Dian Arymami, SIP, M.Hum.

 

Dr. Tyas, begitu beliau disapa, meneliti perkembangan dan dampak Tour De Singkarak terhadap pariwisata dan kontribusi ekonomi. Dia menemukan, ‘Ada kecemasan yang timbul dari pelaksanaan Tour De Singkarang yang dianggap tidak memberikan hasil signifikan secara ekonomi bagi daerah padahal penyelenggaraannya menghabiskan dana yang besar’. Tour De Singkarak adalah event olahraga sepeda tingkat internasional yang telah diadakan sejak 2019 melewati Danau Singkarak dan mengambil route sekitar Sumatera Barat. Pada 2020 dan 2021 Tour De Singkarak tidak dilaksanakan karena masa pandemi.

 

Menurut Dr. Tyas, meskipun secara signifikan jumlah kunjungan dan pariwisata tidak meningkat sebagaimana yang ditargetkan pemerintah daerah, tetapi karena adanya TDS daerah mendapatkan keuntungan dari aspek lain seperti terbukanya akses jalan baru, perbaikan jalan yang rusak, yang memberikan kenyamanan dalam berkendaraan dan mengurangi lama waktu perjalanan. Secara tidak langsung ini memberikan manfaat pada mobilisasi barang dan jasa bagi daerah. Selain itu, adanya pembangunan akomodasi baru di luar Padang dan Bukittinggi, sehingga daerah sekitar juga dapat merasakan kegiatan pariwisata.

 

Dr. Tyas juga menyebutkan bahwa dengan adanya TDS, pengelola destinasi bersemangat untuk memperbaiki kualitas destinasi ke arah standar internasional. Misalnya,  toilet di Pantai Tirampadang diperbaiki sesuai standard, pedestrian di Pantai Padang tersedia dengan baik, dibangunnya Kawasan parkir Pantai Carocok dan Pantai Gondoriah. Kendati demikian Dr. Tyas mengatakan bahwa daerah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap penyelenggaraan TDS sehingga menganggap pelaksanaan TDS tidak efektif.

 

Sebagai penanggap Dr. Muhammad Yusuf mencoba menarik isu ini dalam tataran analisis ekosistem pariwisata. Dia berpendapat bahwa pariwisata berkaitan dengan banyak elemen dan sangat kompleks seperti budaya, keuangan, modal social, promosi, pasar, dan pemerintah. Sehingga dalam menganalisis keuntungan pariwisata diperlukan pemahaman yang kritis terhadap elemen lainnya. Menurutnya tidak bisa serta merta hanya melihat dampak ekonomi semata. Barangkali dengan adanya TDS akan memberikan dampak positif dari sisi social dan budaya, sisi optimism dan keterbukaan akses dan network, perbaikan image pemerintah dan destinasi secara global, dll.

Diskusi meluas pada perlunya menilik kembali metode analisis dampak pariwisata. Meskipun dampak pariwisata memiliki banyak pendekatan, namun belum ada yang benar benar bisa secara efektif memberikan gambaran pada seluruh elemen ekosistem. Demikian yang diungkapakan Prof. Heddy Shri Ahimsa dengan mengatakan, ‘Jangan terlalu terburu buru memberikan klaim bahwa kegiatan tidak bermanfaat sebelum melaksakan riset dengan metode yang tepat”. Dimana metode untuk menganalisis dampak dan manfaat juga menjadi PR bagi akademisi.

Seminar berlangsung dengan lancar diikuti oleh 110 peserta baik mahasiswa, praktisi pariwisata maupun masyarakat luas.

SSN Kepariwisataan #8: Kearifan Lokal Pariwisata: Kearifan Lokal Baru di Kampung Naga Jawa Barat ?

Berita Rabu, 7 April 2021

Pariwisata di Indonesia dinilai kurang mengakar pada nilai-nilai kearifan lokal. Pembangunan pariwisata terkesan masih berupaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut sering menimbulkan dampak negatif dan berpotensi menjadikan pariwisata tidak berkelanjutan.

Demikian bahasan diskusi yang mengemuka  dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #8 yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana, Prodi Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada pada Senin malam, (9/2). Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. Awaludin Nugraha, M.Hum, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran yang juga merupakan alumni program Doktor Kajian Pariwisata UGM.

Awaludin mengatakan penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-undang No 10 tahun 2009. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan seyogianya memperhatikan nilai-nilai budaya lokal, terutama kearifan lokal yang tumbuh dan melembaga dalam masyarakatnya. Sementara budaya lokal cenderung hanya menjadi komoditas.

Melakukan riset di Kampung Naga, Jawa Barat, Awaludin melihat bahwa kawasan ini telah menjadi destinasi wisata yang populer. Kendati begitu, masyarakatnya tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal.

Kampung Naga telah ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara sejak tahun 1970-an.
Kampung Naga menawarkan lima tipe wisata di dalamnya yaitu wisata budaya sebagai tujuan utama, wisata budaya kebetulan, wisata budaya jalan-jalan, wisata budaya santai, dan wisata budaya insidental.

“Masyarakat adalah tamu dan kerabat jauh yang sedang bersilaturahmi kepada leluhur sehingga tamu yang datang ke Kampung Naga sangat dihormati dan dilayani dengan baik tanpa meminta imbalan uang masuk (entrance fee) seperti desa wisata yang sudah dikelola secara komersial,” paparnya.

Sementara pemerhati parwisata dari UGM, Dr. Pande Made Kutanegara, M.Si., menegaskan perlunya memahami kearifan lokal masyarakat dan mengintegrasikannya di dalam pengembangan masyarakat. Sebab, masyarakat bukan objek pembangunan, tetapi subjek pembangunan.

Ia menambahkan kearifan lokal juga berfungsi untuk menjaga keberlanjutan sebuah kelompok masyarakat, antara lain dengan melakukan konservasi dan pelestarian sumber daya alam, umat manusia, ilmu pengetahuan, budaya dan tradisi, etika dan moral masyarakat, serta menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan manusia maupun dengan alam sekitarnya.

SSN Kepariwisataan #7: Wisata Edukasi Potensial Untuk Dikembangkan

Berita Rabu, 7 April 2021

Tema “Pariwisata Edukasi di Yogyakarta: Antara Harapan dan Kenyataan” menjadi tema yang menarik sebagai agenda serial series #7 yang digelar Program Studi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada pada Selasa malam (26/1). Seminar menghadirkan pembicara Dr. Ani Wijayanti, MM, MM. Par. CHE, dosen Bina Sarana Informatika University, alumni S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM dan sebagai penanggap Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc, PhD dan Dr. Dyah Mutiarin selaku moderator.

Ani Wijayanti menyatakan tema pariwisata edukasi di Yogyakarta adalah tema yang menarik dan tema ini sekaligus menjadi topik penelitiannya saat menempuh program doktor S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM. Menurutnya, pariwisata di Yogyakarta berkembang sangat pesat dan mampu menyumbang pendapatan daerah yang cukup besar sekaligus menggerakkan perekonomian.

“Melihat potensi tersebut maka wisata edukasi menjadi sangat-sangat terbuka untuk dikembangkan dan memiliki prospek yang sangat bagus,” ujarnya.

Ia menilai dengan berkembangnya model pembelajaran yang sangat inovatif saat ini menjadikan wisata edukasi sangat mungkin untuk dikembangkan. Konsep-konsep pembelajaran di ruangan dan hanya dibatasi oleh gedung-gedung dan sekat ruang saat ini sudah berubah.

Kehadiran wisata edukasi ini tentu akan sangat diminati. Wisata edukasi ini sebetulnya sudah sejak lama dilakukan, dan wisata ini dikenal dengan istilah study tour yang dilakukan secara rutin oleh para pelajar/ mahasiswa.

“Sehingga mestinya wisata edukasi ini bisa dikelola dengan baik. Dengan melihat potensi yang sangat luar biasa, dari sebuah artikel saya membaca wisata edukasi menjadi destinasi wisata yang diminati sangat tinggi di Jakarta dan Bali, bahkan kalau liburan di DIY ini terlihat di padati bus-bus wisata yang isinya para pelajar dan siswa-siswa. Ini menunjukkan potensi yang sangat luar biasa,” katanya.

Menurutnya, bentuk dan jenis pariwisata selalu berkembang, dan kini tidak hanya wisata klasik saja tetapi telah mengalami pergeseran pada bentuk wisata yang memberikan nilai plus yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan. Wisatawan pun kini menginginkan pulang membawa ‘memorable knowledge’ sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka.

“Inilah yang menjadi dasar berkembangnya pariwisata berbasis edukasi. Sayang, di DIY model pengelolaan pariwisata edukasi belum tersedia dengan baik, belum masuk dalam perencanaan maupun peraturan, baik PERDA DIY No 1 Tahun 2012 – tentang RIPPARDA DIY 2012-2025, sehingga pengelolaan yang ada cenderung trial and error, dan memberi hasil yang kurang pasti dan kurang optimal,” terangnya.

Melakukan kajian wisata edukasi di Yogyakarta, pembicara mengamati empat destinasi wisata edukasi dengan karakter yang berbeda-beda yaitu Taman Pintar yang berbasis teknologi, Kraton Yogyakarta yang berbasis budaya, Benteng Vredeburg yang berbasis sejarah dan Museum Biologi yang berbasis untuk mata kuliah pembelajaran. Keempatnya menarik tetapi sebagian besar belum menerapkan konsep-konsep pariwisata edukasi.

Misalnya dalam wisata edukasi itu harus menyajikan pengalaman dan bagaimana paket wisata harus didesain yang bisa menyajikan kelas dan lapangan. Harapannya ada link and match antara yang dipelajari di kelas kemudian ke lapangan sehingga wisatawan bisa mendapatkan pendalaman materi yang sudah diperoleh.

Menurut Ani, hal tersebut di atas hingga kini belum terbentuk. Banyak pihak belum pernah mengadakan duduk bersama membahas apa-apa yang menjadi kebutuhan sekolah dan mana-mana yang kemudian harus dikelola sebagai destinasi wisata.

“Kalau itu bisa didesain paket wisata, wisata edukasi sangat menarik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak-anak akan komprehensif, memperkuat ilmu yang diperoleh di sekolah. Tetapi yang terlihat sekarang studi tour terkesan anak-anak berjalan sendiri. Walaupun ada beberapa yang terkoordinasi dengan baik, bahkan guide di Kraton menyebut susah mau menjelaskan karena terkadang mereka jalan sendiri. Ya pada akhirnya menyerah dan hanya menjelaskan pada mereka yang mau-mau saja,” ungkap Ani.

Ani menyarankan sebaiknya dilakukan pembekalan sebelum melakukan study tour sehingga muncul sinergi ketika sampai di lokasi. Jangan sampai anak-anak (wisatawan) tidak mendapat apa-apa dan itu sangat disayangkan.

Perlu dilakukan pula konsep tutorial dan eksplorasi sehingga pelajar pada saat melakukan perjalanan wisata edukasi ada beberapa tahapan yang harus ditempuh. Mereka sebaiknya tidak langsung masuk ke objek wisata, melihat-lihat, melakukan selfie tanpa mengerti isi dari tujuan wisatanya.

“Seharusnya ada tutorial dan eksplorasi, anak-anak diberikan dasar pengetahuan dulu dan disini dibutuhkan pemandu yang atraktif dan komunikatif sehingga pelajar memiliki pemahaman awal sehingga kemudian dipersilakan untuk eksplorasi. Seperti benteng Vredeburg, disitu ada diorama-diorama sehingga jika pelajar tidak tahu alurnya, dan hanya melihat yang hanya disukai maka ia tidak akan mengerti,” sebutnya.

Ani menambahkan dalam wisata edukasi itu ada hidden curricula atau kurikulum tersembunyi. Karenanya perjalanan wisata edukasi perlu dirancang sedemikian rupa sehingga akan berguna untuk memperkuat proses pembelajaran di sekolah.

“Kalau didesain dengan baik itu akan menjadi kurikulum tersembunyi dan bisa menjadi mata pelajaran tertentu. Aktivitas pembelajaran yang baik, edukasi yang baik yang mendukung pembelajaran mampu memberi retensi atau daya ingat yang tinggi ke anak. Ingatan edukasi wisata memberi sesuatu yang dalam maka akan ada pengalaman-pengalaman yang bisa dibagikan untuk orang lain,” imbuhnya.

Sementara itu, Prof. Kwartarini sebagai penanggap menyatakan pengalaman berwisata tidak dapat dibagikan secara “utuh”, sebab pengalaman dibangun dari cognitive, affective dan behaviour repertoire yang pastinya berbeda antara satu wisatawan dengan wisatawan yang lain.

“Karena itu, pengelola harus mampu menghadirkan keunikan dan atraksi yang memorable bagi wisatawan. Hal ini seharusnya tidak sulit mengingat Indonesia memiliki 1.128 kelompok etnik, 700 bahasa dan dialek yang tersebar di 17.405 pulau,” katanya.

SSN Kepariwisataan #6: Museum di Yogyakarta : Masalah Promosi dan Solusinya

Berita Rabu, 7 April 2021

Tahun 2020 merupakan tahun challenging untuk museum di Yogyakarta. Sejak pandemi Covid 19 masuk di Indonesia sekitar bulan Maret 2020, banyak museum yang tutup karena kondisi yang mengharuskan stay at home. Namun begitu, ada pula Museum yang tetap buka dan tetap menerapkan protokol kesehatan seperti Museum Sonobudoyo.

Sekitar bulan Oktober – November 2020, sudah banyak Museum di Yogyakarta yang kembali beroperasional seperti biasa walaupun tetap menggunakan protokol Kesehatan. Namun pertanyaannya “Apakah ada rasa rindu di hati masyarakat untuk tidak berkunjung ke Museum sekian lama?” atau malah “Tutup atau Nggak Tutup sama saja?”

Hal ini menjadi tantangan bagi Museum untuk selalu ada di hati masyarakat seperti tagline yang seharusnya “Salam Sahabat Museum, Museum di hatiku”. Namun untuk menciptakan rasa rindu tentunya harus ada perasaan senang terhadap sesuatu tersebut. Begitulah yang diutarakan Dr. Ayu Helena dalam Seminar Series Kepariwisataan 15 Desember 2020.

Pada hari Selasa, 15 Desember 2020. Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada mengadakan Seminar Series Kepariwisataan bertajuk, ‘Museum di Yogyakarta: Masalah Promosi dan Solusinya’. Seminar menghadirkan Ibu Dr. Ayu Helena Cornellia, B.A, M.Si, alumni S3 Kajian Pariwisata UGM. Seminar mengundang pula Prof. Drs. John Soeprihanto, MIM, PhD sebagai pembahas dan dimoderatori oleh Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc

Komunikasi Pemasaran yang merupakan salah satu bidang ilmu dalam Pemasaran secara umum dapat menjadi salah satu strategi bagi Museum untuk menciptakan rasa senang bagi pengunjung. Harus ada To Do, To See, To Buy dan To Experience. Yang terakhir ini (To Experience) menjadi hal yang sangat berkesan bagi Millenials yang memiliki jumlah target pasar terbesar di Indonesia saat ini.

Menurut Dr. Ayu Helena Cornellia, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Alvara Research Center (alvara-strategic.com), dikemukakan bahwa pada tahun 2020 ini Millenials adalah “The Rising Market” dan jumlah Millenials saat ini mendominasi market. Hal ini akan terus berlanjut kemungkinan sampai sekitar tahun 2035. Berdasarkan hal tersebut tentunya Museum sebagai Destinasi Pariwisata harus berbenah untuk memenuhi hal hal yang disenangi oleh generasi Millenial begitu pula generasi setelahnya sebut saja generasi Z atau generasi Alpha. Dalam studi ini ditemukan Sembilan perilaku utama generasi milenial Indonesia yaitu kecanduan internet, loyalitas rendah, cashless, kerja cerdas dan cepat, multitasking, suka jalan jalan, cuek dengan politik, suka berbagi dan yang terakhir kepemilikan terhadap barang barang rendah.

Dr. Ayu Helena Cornellia menambahkan dengan mengutip riset dari Jasmine Rahma Amalia (2020) mahasiswi Universitas Pertamina yang menyampaikan alasan kenapa Generasi Millenial Emoh ke Museum adalah kurangnya interaksi yang ada di Museum serta kurang proaktif dalam mengajak masyarakat untuk ke museum. Saat ini penting bagi museum untuk meningkatkan minat kunjungan masyarakat melalui unggahan informasi dan aktivitas di media sosial serta menguatkan electronic word of mouth (E-WOM).

Belajar dari krisis virus Corona 19 di era Industry 4.0 ini, diharapkan akan ada lesson learnt kedepannya yaitu mempersiapkan business agility yaitu kemampuan untuk berpikir dan memahami keadaan dengan cepat, kolaborasi yang konstan dan iterasi berkelanjutan. Selain itu Resilience atau sikap yang menunjukkan daya tahan dan tahan banting terhadap tekanan perlu untuk terus diupayakan.

Persaingan dengan destinasi atau atraksi pariwisata lain akan terus muncul apalagi di era disrupsi teknologi ini. Sehingga Museum perlu memiliki “Brand Standard” sendiri untuk selalu ada di hati.

Dr. Ayu Helena Cornellia memberikan tips dalam promosi museum yaitu: 1) Mengaktifkan dan meningkatkan Media Sosial, 2) Mengaktifkan dan meningkatkan traffic Website, 3) Mengadakan special events – online dan offline, 4) Perlunya Advertising dan kegiatan Public Relations dan 5) Melibatkan Millenial

Sedangkan pembahas, Drs. John Soeprihanto, MMI, PhD senada menyampaikan bahwa untuk dapat bertahan dan berkembang di era Digital dan pandemi Covid 19 serta mentargetkan Millenials, beberapa hal penting yang dapat dilakukan oleh museum adalah : 1) Mengembangkan media sosial, 2) Memiliki SDM yang mumpuni di bidang PR/Marketing 3) Product & Service yang menciptakan Guest Experience/Parcipatory dan 4) Sering mengadakan interactive event online atau offline 1 bulan 1 x

Selain itu Drs. John Soeprihanto, MMI, PhD dan Dr. Ayu Helena Cornellia setuju untuk menekankan perlunya diversifikasi event di Museum sebagai upaya promosi baik pada millenials maupun generasi sesudahnya yang nantinya akan menjadi market baru.

SSN Kepariwisataan #5: Modal Sosial dalam Pengembangan Pariwisata, perlukah?

Berita Rabu, 7 April 2021

Pariwisata merupakan sektor yang unik karena untuk menjalankan sektor ini diperlukan kerjasama seluruh lapisan masyarakat yang secara sosial memberikan ruang gerak bagi perkembangannya. Hampir tidak mungkin pariwisata tumbuh tanpa keikutsertaan masyarakat secara aktif mempersiapkan destinasi, menjaga keamanan, melayani wisatawan dan mempromosikannya, atau dengan kata lain modal sosial diperlukan bagi pengembangan pariwisata. Hal ini menjadi bahan diskusi dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan #6, diselenggarakan oleh Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, UGM pada hari Selasa, 12 Januari 2021.

Sebagai pembicara adalah Dr. Bakri, MM, alumni Doctoral program Kajian Pariwisata UGM yang telah melakukan pendampingan dan riset di Desa Wisata Dieng, Jawa Tengah. Dr. Bakri mengutarakan bahwa modal terbentuk karena adanya kesamaan nilai dan tujuan yang hendak dicapai. Sehingga, unsur kepercayaan, jaringan dan norma menjadi penting dalam pembentukan modal sosial. Dengan menggunakan parameter tersebut, Dr. Bakri menganalisis modal sosial di desa wisata  Dieng dan menemukan bahwa dengan diberikan kepercayaan dan mandat kepada masyarakat, mereka berhasil mengembangkan Desa Wisata sejak 2009. Masyarakat berhasil mengubah mengubah potensi alam dan budaya menjadi produk wisata seperti paket wisata, 120 homestay, makan khas dan Festival Budaya Dieng. Bahkan masyarakat pengelola homestay mampu mendapatkan penghasilan hingga 4,3 juta rupiah. Hal ini didukung oleh meningkatkan jumlah kunjungan wisata sejak 2011 – 2016.

Prof. Heddy Shri Ahimsaputra sebagai pembahas menambahkan bahwa selain modal sosial, dalam pengembangan pariwisata diperlukan pula modal budaya dan modal ekonomi. Ketiganya harus ada dan berjalan dengan beriringan. Meskipun demikian di banyak destinasi, seringkali ada ketimpangan dan tidak sejalan. Misalnya modal sosial tinggi tetapi modal ekonomi rendah. Prof. Heddy juga menggarisbawahi peran agen external dalam pengembangan pariwisata Dieng yang juga dikonstruksi dari meningkat dan  meluasnya jaringan yang dibentuk oleh Desa Wisata.

Pada kesempatan yang sama penggerak desa wisata Dieng juga diundang yaitu Bapak Alif dari Pokdarwis Dieng Pandawa. Bapak Alif mengatakan bahwa meskipun modal sosial dimiliki oleh masyarakat Dieng, mereka berterimakasih adanya support dari pemerintah dan akademisi khususnya pendampingan UGM. Bapak Alif menambahkan bahwa dalam kondisi pandemi Covid-19 Dieng tetap ada pengunjung, bahkan ada waktu dimana pengunjung tetap tinggi. Namun demikian, ada hari hari sepi. Bagi masyarakat hari hari sepi mereka manfaatkan untuk beristirahat dan merefleksikan ulang dengan melakukan penataan penataan yang diperlukan. Artinya, baik Dieng sepi maupun ramai masyarakat mengambil hikmah.

Diskusi berlangsung cukup dinamis dengan dimoderatori Ibu Dr.rer.pol Dyah Widyastuti. Seminar diikuti oleh sekitar 155 peserta.

SSN Kepariwisataan #4: PARIWISATA WARISAN BUDAYA DI KAWASAN KERATON RATU BOKO: KETIMPANGAN DALAM PENGELOLAAN ?

Berita Rabu, 7 April 2021

Idealnya sebuah destinasi wisata yang dibangun dengan basis warisan budaya seperti Kawasan Keraton Ratu Boko, harus bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Hal ini selaras dengan Pasal 3 UU Nomor 10 Tahun 2011 yang menyebutkan Pelestarian Cagar Budaya bertujuan: (1) melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, (2) meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya, (3) memperkuat kepribadian bangsa, (4) meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan (5) mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Indikator keberhasilan pengelolaan pariwisata warisan budaya seharusnya mencakup empat elemen penting yaitu: adanya aktifitas ekonomi, adanya dukungan sosial, adanya manajemen situs warisan, dan lingkungan situs pariwisata warisan yang selaras, mengutip dari Ngamsomsuke, Hwang, dan Huang (2011). Keempat aspek ini belum sepenuhnya tercapai dalam pengelolaan  Kawasan Keraton Ratu Boko,

Kawasan Keraton Ratu Boko belum  sepenuhnya menjadi penolong bagi masyarakat miskin yang ada disekitarnya untuk entas dari kemiskinan. Faktanya, Kecamatan Prambanan sendiri saat ini memiliki sekitar 12,53% atau 2.315 KK miskin. Sebarannya, Sumberharjo (625 KK), Wukirharjo (185 KK), Gayamharjo (275 KK), Sambirejo (325 KK), Madurejo (530 KK) dan Bokoharjo (375 KK). Padahal realisasi keuangan dalam tahun 2019 menunjukkan laba setelah pajak sekitar 100,71% dari target dari pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur, Candi  Prambanan, Keraton Ratu Boko dan unit-unit usaha lainnya.

Disampaikan pada Seminar Series Kepariwisataan (Selasa, 1 Desember 2020) dengan tema: ‘Pariwisata Warisan Budaya Di Kawasan Keraton Ratu Boko, Ketimpangan Dalam  Pengelolaan?’. Dr. Maria Tri Widayati, alumni S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM, yang saat ini adalah dosen di Politeknik “API” Yogyakarta menyoroti permasalahan pengelolaan Kawasan Keraton Ratu Boko yang selama ini dinilai belum maksimal menghadirkan kesempatan berusaha dalam bidang pariwisata pada  masyarakat.

Seminar Series Kepariwisataan diadakan oleh Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UGM. Pemantik diskusi adalah Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S sebagai penanggap dalam seminar ini bersama dengan Ibu Ari Setyaningsih dan Bapak Indung Panca Putra dari  Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY). Dr. Yulia Arisnani Widyaningsih, MBA, Ph.D sebagai moderator. Seminar ini diikuti oleh sekitar 80 orang baik mahasiswa maupun masyarakat umum.

Dr. Maria mengatakan bawah hal krusial yang menjadi penyebab pengelolaan Candi Ratu Boko belum maksimal adalah terpusatnya pengelolaan oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Bahkan dapat dikatakan monopoli PT. Taman Wisata Candi sangatlah besar. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh masyarakat saat Dr. Maria melakukan interview dan focus group discussion. Permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah: 1) persoalan penguasaan tanah di situs Kraton Ratu Boko, yaitu zona 1 yang seharusnya steril masih ada pemukiman warga; (2) masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan; dan (3) petugas di pintu masuk tidak memberikan toleransi kepada warga.

Selain itu permasalahan juga terjadi antara pengelola. Misalnya, pengelola berasal dari kementerian yang berbeda, serta kepentingan yang berbeda pula, PT TWC BPRB belum sepenuhnya melibatkan pemangku kepentingan lain dalam pengelolaan Taman Wisata Kraton Ratu Boko, terjadi ketidakseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan dan koordinasi ditingkat bawah/lapangan yang masih rendah.

Secara detail, Dr. Maria menguraikan bahwa BPCB tidak memperoleh pendapatan langsung dari PT. Taman Wisata Kraton Ratu Boko, namun mendapatkan dana pengelolaan secara tidak langsung melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman sebesar 500 juta/tahun untuk perlindungan dan pelestariannya. Ironisnya mulai tahun 2015/2016 anggaran untuk pelestarian tersebut dihentikan. Jadi BPCB DIY tidak lagi mendapatkan dana tersebut dalam pelestarian Kawasan Keraton Ratu Boko. Sedangkan gaji Direktur utama serta Direktur PT TWC BPRB berkisar sekitar 100.000.000 – 120.000.000 per bulan.

Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S sebagai pembahas mengatakan bahwa sebenarnya Kawasan Keraton Ratu Boko secara ekologis berada di tempat yang tepat, tidak seperti Prambanan yang sering banjir. Seolah olah arsitek jaman dulu telah mengerti ilmu fisika lingkungan ‘hukum bejana berhubungan’ yaitu ada air diantara bukit bukit. Cerita cerita seperti inilah yang sebenarnya perlu untuk disampaikan kepada pengunjung dan generasi muda. Prof. Heddy sebagai peserta diskusi menyoroti pentingnya mengintegrasikan prasasti dan situs arkeologi yang ada disekitar Boko dan Prambanan. Lalu dirangkum dan dimasukkan dalam ‘story telling’ yang tepat sehingga lebih menarik bagi wisatawan dan generasi muda.

Dr. Maria menyampaikan pesan penting dari hasil risetnya di Candi Ratu Boko, bahwa  sebuah situs warisan budaya yang  dikelola untuk pariwisata harus tetap bisa dilestarikan, dan harus bisa  memberikan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu masih ada satu tahapan lagi yaitu membuka akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pariwisata sehingga sama sama mendapatkan benefit dari pariwisata dan bersama-sama pula menjaga agar situs tetap lestari.

12

Recent Posts

  • Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM
  • Penerimaan Mahasiswa Baru Semester Gasal TA 2023/2024
  • Kuliah Dosen Tamu: Pariwisata Pasca Pandemik COVID19
  • Beasiswa S2 Sekolah Pascasarjana UGM TA 2022/2023
  • Penerimaan Mahasiswa Baru 2022/2023
Universitas Gadjah Mada

Program Studi Kajian Pariwisata

Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin

Universitas Gadjah Mada,

Jl. Teknika Utara, Pogung, Sleman, Yogyakarta, 55281

Telp:+62 821-3467-0080|Email: mkp-ugm@ugm.ac.id

© Program Studi Kajian Pariwisata - Universitas Gajah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju