Magister dan Doktoral Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM mengadakan pertemuan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terkait Monitoring dan Evaluasi Program Beasiswa dan Kerja Sama antara SPs dan Kemenparekraf pada Rabu, 10 Juli 2024. Kepala PP SDM Parekraf, Andar Danova L. Geoltom, S.Sos., M.Sc., CPM bersama tim menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya ke Sekolah Pascasarjana UGM. Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiwaan dan Kerja Sama, Dr. Widyanto Dwi Nugroho, S.Hut., M.Agr. sebagai perwakilan Sekolah Pascasarjana UGM menyambut dan membuka forum diskusi serta menyampaikan bahwa komitmen calon mahasiswa perlu diperkuat dalam proses seleksi.
Berita
Program Studi Magister Kajian Pariwisata UGM memiliki agenda rutin tahunan yaitu seminar online Sharing Session Penelitian Ilmiah Tesis Alumni dan Mahasiswa MKP UGM yang sudah berlangsung sejak 2022. Seminar ini bertujuan tidak hanya berbagi ilmu terkait kepariwisataan, tapi juga memberikan inspirasi kepada mahasiswa yang akan menyusun tesis melalui diskusi penelitian yang sudah dilakukan oleh alumni MKP dilengkapi dengan narasumber praktisi bidang pariwisata.
Dalam satu tahun dilaksanakan 6 sesi seminar setiap 2 bulan sekali dan saat ini sudah memasuki sesi ke 3 yang dilaksanakan Jumat, 28 Juni 2024. Sesi ke 3 ini mengangkat tema besar Outbound Tourism dengan judul “Trend Kunjungan ke Luar Negeri dari Sudut Pandang Wisatawan Indonesia” dengan narasumber Maelani Fitri, M.Sc dan Halida Fatha Arrifa, M.Sc yang merupakan alumni MKP UGM 2021.
Prodi Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM mengedepankan pengetahuan lintas disiplin dan kebaruan dalam ilmu kepariwisataan. Pengetahuan lintas disiplin dan kebaruan dalam bidang pariwisata diwujudkan dalam acara Guest Lecture yang diselenggarakan oleh Prodi Magister Kajian Pariwisata UGM dengan Tema Post-pandemic Tourism Development: Conceptual and Practical Approaches. Acara Guest Lecture tersebut dilaksanakan pada Selasa 25 Oktober 2022.
Narasumber dari acara tersebut adalah Dr. Jasper Heslinga (Senior Lecturer-Researcher at NHLStenden, Program manager at CELTH) dan Menno Stokman (Director Centre of Expertise Leisure, Tourism & Hospitality CELTH, Senior Expert Tourism PUM). Acara tersebut merupakan kuliah umum dengan dosen tamu dan dihadiri oleh mahasiswa Sekolah Pascasarjana serta bersifat wajib bagi mahasiswa aktif Prodi Magister Kajian Pariwisata.
Penerimaan mahasiswa baru
Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM 2021
Informasi umum
Daya tampung
Gelombang 1 : 20
Gelombang 2 : 10
Biaya pendaftaran sebesar Rp 500.000,-
Persyaratan umum
Persyaratan umum dapat dilihat pada link berikut
Persyaratan khusus
- Calon mahasiswa lolos tes wawancara
- Calon mahasiswa menyiapkan rencana topik penelitian (1 halaman) – template rencana topik penelitian dapat di download disini
Topik inilah yang diangkat dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #11 yang diselenggarakan oleh Prodi S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM. Tema yang diangkat adalah ‘Dinamika Ekowisata Tri ning Tri di Bali’. Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. I Nyoman Sukma Arida, S.Si, M.Si dari Fakultas Pariwsata, Universitas Udayana. Dr. Sukma juga merupakan alumni dari S3 Kajian Pariwisata SPS UGM. Hadir sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc, guru besar Fakultas Geografi UGM dan dimoderatori oleh Bayu Sutikno, SE., M.S.M, Ph.D dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Dalam paparannya Dr. Sukma, mengatakan ‘Di tengah situasi demikian, sulit menemukan wujud dari ekowisata Bali. Namun beberapa pihak sejak tahun 1990 an tetap konsisten memperjuangkan berkembangnya ekowisata di Bali — Jaringan Ekowisata Desa.’ Belakangan beberapa desa wisata juga menjadikan aspek konservasi sebagai basis pengembangannya. Dr. Sukma menjelaskan tentang program pendampingan dan promosi desa wisata yang ia lakukan melalui godevi.id. Ada pergeseran nilai keotentikan dan orisinalitas alam Bali yang bercirikan pariwisata budaya yang bernafaskan filosofi Tri Hita Karana. Beberapa atraksi baru yang dikembangkan oleh investor asing dengan kekuatan yang besar akibat terbukanya kebijakan pemerintah untuk membuka investasi asing.
Dr. Sukma menjelaskan temuan dari hasil penelitiannya yang bertujuan untuk memahami tipologi ekowisata di Bali dan kekuatan dominan yang melatarbelakangi munculnya berbagai tipe, bentuk dan wujud produk ekowisata. Ia mengatakan bahwa di Bali ekowisata dapat ditipologikan dalam tiga tipe: yaitu investor, pemerintah dan masyarakat. Masing masing tipe ekowisata memiliki ciri yang berbeda berdasarkan produk, strategi pengembangan, pola pelibatan masyarakat dan karakter wisatawan.
Selain itu Dr. Sukma juga menyoroti adanya pseudo-ekowisata di Bali, atau ekowisata semu. Kegiatan pariwisata Nampak seperti ekowisata padahal peran masyarakat lokal di sekitar obyek ekowisata termarginalkan. Ia juga memberikan contoh kasus di Desa Taro yang muncul sebagai Gerakan desa wisata sebagai perlawanan halus atau counter wacana terharap hegemoni wisata gajah atau sebagai representasi investor besar. Desa Taro merupakan desa dengan tipe ekowisata Hibrid yaitu percampuran antara investor-pemerintah-masyarakat.
Dr. Sukma berharap pendemi Covid-19 dapat menjadi refleksi bagi destinasi wisata di Bali apakah benar yang dilakukan adalah benar benar ekowisata atau pseudo-ekowisata.
Sebagai pemapar Prof. Sudarmadji menyoroti pentingnya keberlanjutan desa wisata atau destinasi ekowisata. Bisa jadi permasalahan terjadi dari pengelolaan maupun dari wisatawan. Sehingga Prof. Sudarmadji menyarankan untuk selalu memperhitungkan kondisi lingkungan ketika mengembangkan obyek wisata yaitu dengan mempertimbangkan kapasitas jangan sampai terjadi overcapacity. Prof. Sudarmadji mengatakan, ‘Jangan sampai lingkungan diabaikan dan hanya berkonsentrasi pada kenaikan pendapatan dan kesejahteraan, karena jika daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui maka akan membuat kerugian yang lebih besar pada semua aspek.’
Diskusi berlangsung dengan baik diikuti oleh sekitar 160 peserta baik mahasiswa, peneliti, pemerhati pariwisata maupun masyarakat luas.
Topik inilah yang diangkat dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #10, dengan tema Servicescape: Strategi Wisata Kuliner Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembicara pada seminar ini adalah Dr. Sri Sulartiningrum, alumni S3 Kajian Pariwisata UGM. Sebagai pembahas hadir Prof. Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc, dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan dimoderatori oleh Dr. Ir. Muhammad, ST, MT dari Sekolah Pascasarjana UGM. Seminar dilaksanakan secara daring pada tanggal 9 Maret 2021.
Dr. Ningrum menjelaskan bahwa dia melaksanakan riset guna mengetahui konsep servicescape dan strategi menarik pengunjung ke restoran etnik dan untuk menganalisis indikator dan kebermanfaatan servicescape bagi wisata kuliner. Dr. Ningrum mengambil studi kasus di restoran etnik Raminten, Bale Raos dan Mang Engking di Yogyakarta.
Dari hasil penelitiannya, Dr. Ningrum menyimpulkan bahwa masing masing strategi wisata kuliner di lokasi penelitian menunjukkan adanya faktor budaya yang dominan, dimana faktor budaya mampu merefleksikan servicescape. Pembicara merekomendasikan kepada pengelola restoran etnik untuk meningkatkan servicescape dari segi ambient, desain, citra, perilaku, produk, harga dan budaya supaya dapat meningkatkan loyalitas konsumen. Selain itu Dr. Ningrum menambahkan perlunya papan informasi yang dipasang uuntuk memudahkan pecinta kuliner menemukan restoran etnik tersebut. Dalam sisi akademis, Dr. Ningrum menekankan perlunya memasukan aspek budaya dalam konsep servicescape, untuk dapat menjadi variabel penting saat mengevaluasi servicescape.
Sebagai pembahas, Prof. Eni memberikan tanggapan bahwa kuliner dapat berfungsi sangat luas, tidak hanya tentang makanan dan minuman namun menyangkut aspek seperti identity (identitas), dignity (kedaulatan) dan bahkan nasionalisme. Terlihat saat ini masuknya budaya K-pop mempengaruhi selera makan anak anak remaja, terutama mahasiswa nya. Kuliner dapat menjadi media untuk akulturasi budaya dan menunjukkan kedaulatan sebuah bangsa. Sehingga Prof. Eni mendukung perlunya penajaman visi dan misi pengembangan kuliner nusantara karena memiliki peran ganda yang sangat bermanfaat baik untuk pariwisata, ekonomi, pemenuhan aspek pangan, tetapi juga kedaulatan sebuah bangsa.
Diskusi berlangsung dengan baik diikuti oleh sekitar 90 peserta baik mahasiswa, peneliti, pemerhati pariwisata maupun masyarakat luas.
Materi diatas menjadi diskusi yang menarik dilaksanakan oleh Prodi S3 Sekolah Pascasarjana UGM, pada hari Selasa, 23 Februari 2021. Hadir sebagai pembicara Dr. Retnaningtyas Susanti, M.Par dosen Universitas Negeri Padang, alumni S3 Prodi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM. Sebagai pembahas adalah Dr. Muhammad Yusuf M.A, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM dan dimoderatori oleh Dr. Dian Arymami, SIP, M.Hum.
Dr. Tyas, begitu beliau disapa, meneliti perkembangan dan dampak Tour De Singkarak terhadap pariwisata dan kontribusi ekonomi. Dia menemukan, ‘Ada kecemasan yang timbul dari pelaksanaan Tour De Singkarang yang dianggap tidak memberikan hasil signifikan secara ekonomi bagi daerah padahal penyelenggaraannya menghabiskan dana yang besar’. Tour De Singkarak adalah event olahraga sepeda tingkat internasional yang telah diadakan sejak 2019 melewati Danau Singkarak dan mengambil route sekitar Sumatera Barat. Pada 2020 dan 2021 Tour De Singkarak tidak dilaksanakan karena masa pandemi.
Menurut Dr. Tyas, meskipun secara signifikan jumlah kunjungan dan pariwisata tidak meningkat sebagaimana yang ditargetkan pemerintah daerah, tetapi karena adanya TDS daerah mendapatkan keuntungan dari aspek lain seperti terbukanya akses jalan baru, perbaikan jalan yang rusak, yang memberikan kenyamanan dalam berkendaraan dan mengurangi lama waktu perjalanan. Secara tidak langsung ini memberikan manfaat pada mobilisasi barang dan jasa bagi daerah. Selain itu, adanya pembangunan akomodasi baru di luar Padang dan Bukittinggi, sehingga daerah sekitar juga dapat merasakan kegiatan pariwisata.
Dr. Tyas juga menyebutkan bahwa dengan adanya TDS, pengelola destinasi bersemangat untuk memperbaiki kualitas destinasi ke arah standar internasional. Misalnya, toilet di Pantai Tirampadang diperbaiki sesuai standard, pedestrian di Pantai Padang tersedia dengan baik, dibangunnya Kawasan parkir Pantai Carocok dan Pantai Gondoriah. Kendati demikian Dr. Tyas mengatakan bahwa daerah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap penyelenggaraan TDS sehingga menganggap pelaksanaan TDS tidak efektif.
Sebagai penanggap Dr. Muhammad Yusuf mencoba menarik isu ini dalam tataran analisis ekosistem pariwisata. Dia berpendapat bahwa pariwisata berkaitan dengan banyak elemen dan sangat kompleks seperti budaya, keuangan, modal social, promosi, pasar, dan pemerintah. Sehingga dalam menganalisis keuntungan pariwisata diperlukan pemahaman yang kritis terhadap elemen lainnya. Menurutnya tidak bisa serta merta hanya melihat dampak ekonomi semata. Barangkali dengan adanya TDS akan memberikan dampak positif dari sisi social dan budaya, sisi optimism dan keterbukaan akses dan network, perbaikan image pemerintah dan destinasi secara global, dll.
Diskusi meluas pada perlunya menilik kembali metode analisis dampak pariwisata. Meskipun dampak pariwisata memiliki banyak pendekatan, namun belum ada yang benar benar bisa secara efektif memberikan gambaran pada seluruh elemen ekosistem. Demikian yang diungkapakan Prof. Heddy Shri Ahimsa dengan mengatakan, ‘Jangan terlalu terburu buru memberikan klaim bahwa kegiatan tidak bermanfaat sebelum melaksakan riset dengan metode yang tepat”. Dimana metode untuk menganalisis dampak dan manfaat juga menjadi PR bagi akademisi.
Seminar berlangsung dengan lancar diikuti oleh 110 peserta baik mahasiswa, praktisi pariwisata maupun masyarakat luas.
Demikian bahasan diskusi yang mengemuka dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #8 yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana, Prodi Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada pada Senin malam, (9/2). Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. Awaludin Nugraha, M.Hum, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran yang juga merupakan alumni program Doktor Kajian Pariwisata UGM.
Awaludin mengatakan penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-undang No 10 tahun 2009. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan seyogianya memperhatikan nilai-nilai budaya lokal, terutama kearifan lokal yang tumbuh dan melembaga dalam masyarakatnya. Sementara budaya lokal cenderung hanya menjadi komoditas.
Melakukan riset di Kampung Naga, Jawa Barat, Awaludin melihat bahwa kawasan ini telah menjadi destinasi wisata yang populer. Kendati begitu, masyarakatnya tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal.
Kampung Naga telah ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara sejak tahun 1970-an.
Kampung Naga menawarkan lima tipe wisata di dalamnya yaitu wisata budaya sebagai tujuan utama, wisata budaya kebetulan, wisata budaya jalan-jalan, wisata budaya santai, dan wisata budaya insidental.
“Masyarakat adalah tamu dan kerabat jauh yang sedang bersilaturahmi kepada leluhur sehingga tamu yang datang ke Kampung Naga sangat dihormati dan dilayani dengan baik tanpa meminta imbalan uang masuk (entrance fee) seperti desa wisata yang sudah dikelola secara komersial,” paparnya.
Sementara pemerhati parwisata dari UGM, Dr. Pande Made Kutanegara, M.Si., menegaskan perlunya memahami kearifan lokal masyarakat dan mengintegrasikannya di dalam pengembangan masyarakat. Sebab, masyarakat bukan objek pembangunan, tetapi subjek pembangunan.
Ia menambahkan kearifan lokal juga berfungsi untuk menjaga keberlanjutan sebuah kelompok masyarakat, antara lain dengan melakukan konservasi dan pelestarian sumber daya alam, umat manusia, ilmu pengetahuan, budaya dan tradisi, etika dan moral masyarakat, serta menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan manusia maupun dengan alam sekitarnya.
Ani Wijayanti menyatakan tema pariwisata edukasi di Yogyakarta adalah tema yang menarik dan tema ini sekaligus menjadi topik penelitiannya saat menempuh program doktor S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM. Menurutnya, pariwisata di Yogyakarta berkembang sangat pesat dan mampu menyumbang pendapatan daerah yang cukup besar sekaligus menggerakkan perekonomian.
“Melihat potensi tersebut maka wisata edukasi menjadi sangat-sangat terbuka untuk dikembangkan dan memiliki prospek yang sangat bagus,” ujarnya.
Ia menilai dengan berkembangnya model pembelajaran yang sangat inovatif saat ini menjadikan wisata edukasi sangat mungkin untuk dikembangkan. Konsep-konsep pembelajaran di ruangan dan hanya dibatasi oleh gedung-gedung dan sekat ruang saat ini sudah berubah.
Kehadiran wisata edukasi ini tentu akan sangat diminati. Wisata edukasi ini sebetulnya sudah sejak lama dilakukan, dan wisata ini dikenal dengan istilah study tour yang dilakukan secara rutin oleh para pelajar/ mahasiswa.
“Sehingga mestinya wisata edukasi ini bisa dikelola dengan baik. Dengan melihat potensi yang sangat luar biasa, dari sebuah artikel saya membaca wisata edukasi menjadi destinasi wisata yang diminati sangat tinggi di Jakarta dan Bali, bahkan kalau liburan di DIY ini terlihat di padati bus-bus wisata yang isinya para pelajar dan siswa-siswa. Ini menunjukkan potensi yang sangat luar biasa,” katanya.
Menurutnya, bentuk dan jenis pariwisata selalu berkembang, dan kini tidak hanya wisata klasik saja tetapi telah mengalami pergeseran pada bentuk wisata yang memberikan nilai plus yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan. Wisatawan pun kini menginginkan pulang membawa ‘memorable knowledge’ sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka.
“Inilah yang menjadi dasar berkembangnya pariwisata berbasis edukasi. Sayang, di DIY model pengelolaan pariwisata edukasi belum tersedia dengan baik, belum masuk dalam perencanaan maupun peraturan, baik PERDA DIY No 1 Tahun 2012 – tentang RIPPARDA DIY 2012-2025, sehingga pengelolaan yang ada cenderung trial and error, dan memberi hasil yang kurang pasti dan kurang optimal,” terangnya.
Melakukan kajian wisata edukasi di Yogyakarta, pembicara mengamati empat destinasi wisata edukasi dengan karakter yang berbeda-beda yaitu Taman Pintar yang berbasis teknologi, Kraton Yogyakarta yang berbasis budaya, Benteng Vredeburg yang berbasis sejarah dan Museum Biologi yang berbasis untuk mata kuliah pembelajaran. Keempatnya menarik tetapi sebagian besar belum menerapkan konsep-konsep pariwisata edukasi.
Misalnya dalam wisata edukasi itu harus menyajikan pengalaman dan bagaimana paket wisata harus didesain yang bisa menyajikan kelas dan lapangan. Harapannya ada link and match antara yang dipelajari di kelas kemudian ke lapangan sehingga wisatawan bisa mendapatkan pendalaman materi yang sudah diperoleh.
Menurut Ani, hal tersebut di atas hingga kini belum terbentuk. Banyak pihak belum pernah mengadakan duduk bersama membahas apa-apa yang menjadi kebutuhan sekolah dan mana-mana yang kemudian harus dikelola sebagai destinasi wisata.
“Kalau itu bisa didesain paket wisata, wisata edukasi sangat menarik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak-anak akan komprehensif, memperkuat ilmu yang diperoleh di sekolah. Tetapi yang terlihat sekarang studi tour terkesan anak-anak berjalan sendiri. Walaupun ada beberapa yang terkoordinasi dengan baik, bahkan guide di Kraton menyebut susah mau menjelaskan karena terkadang mereka jalan sendiri. Ya pada akhirnya menyerah dan hanya menjelaskan pada mereka yang mau-mau saja,” ungkap Ani.
Ani menyarankan sebaiknya dilakukan pembekalan sebelum melakukan study tour sehingga muncul sinergi ketika sampai di lokasi. Jangan sampai anak-anak (wisatawan) tidak mendapat apa-apa dan itu sangat disayangkan.
Perlu dilakukan pula konsep tutorial dan eksplorasi sehingga pelajar pada saat melakukan perjalanan wisata edukasi ada beberapa tahapan yang harus ditempuh. Mereka sebaiknya tidak langsung masuk ke objek wisata, melihat-lihat, melakukan selfie tanpa mengerti isi dari tujuan wisatanya.
“Seharusnya ada tutorial dan eksplorasi, anak-anak diberikan dasar pengetahuan dulu dan disini dibutuhkan pemandu yang atraktif dan komunikatif sehingga pelajar memiliki pemahaman awal sehingga kemudian dipersilakan untuk eksplorasi. Seperti benteng Vredeburg, disitu ada diorama-diorama sehingga jika pelajar tidak tahu alurnya, dan hanya melihat yang hanya disukai maka ia tidak akan mengerti,” sebutnya.
Ani menambahkan dalam wisata edukasi itu ada hidden curricula atau kurikulum tersembunyi. Karenanya perjalanan wisata edukasi perlu dirancang sedemikian rupa sehingga akan berguna untuk memperkuat proses pembelajaran di sekolah.
“Kalau didesain dengan baik itu akan menjadi kurikulum tersembunyi dan bisa menjadi mata pelajaran tertentu. Aktivitas pembelajaran yang baik, edukasi yang baik yang mendukung pembelajaran mampu memberi retensi atau daya ingat yang tinggi ke anak. Ingatan edukasi wisata memberi sesuatu yang dalam maka akan ada pengalaman-pengalaman yang bisa dibagikan untuk orang lain,” imbuhnya.
Sementara itu, Prof. Kwartarini sebagai penanggap menyatakan pengalaman berwisata tidak dapat dibagikan secara “utuh”, sebab pengalaman dibangun dari cognitive, affective dan behaviour repertoire yang pastinya berbeda antara satu wisatawan dengan wisatawan yang lain.
“Karena itu, pengelola harus mampu menghadirkan keunikan dan atraksi yang memorable bagi wisatawan. Hal ini seharusnya tidak sulit mengingat Indonesia memiliki 1.128 kelompok etnik, 700 bahasa dan dialek yang tersebar di 17.405 pulau,” katanya.
Sekitar bulan Oktober – November 2020, sudah banyak Museum di Yogyakarta yang kembali beroperasional seperti biasa walaupun tetap menggunakan protokol Kesehatan. Namun pertanyaannya “Apakah ada rasa rindu di hati masyarakat untuk tidak berkunjung ke Museum sekian lama?” atau malah “Tutup atau Nggak Tutup sama saja?”
Hal ini menjadi tantangan bagi Museum untuk selalu ada di hati masyarakat seperti tagline yang seharusnya “Salam Sahabat Museum, Museum di hatiku”. Namun untuk menciptakan rasa rindu tentunya harus ada perasaan senang terhadap sesuatu tersebut. Begitulah yang diutarakan Dr. Ayu Helena dalam Seminar Series Kepariwisataan 15 Desember 2020.
Pada hari Selasa, 15 Desember 2020. Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada mengadakan Seminar Series Kepariwisataan bertajuk, ‘Museum di Yogyakarta: Masalah Promosi dan Solusinya’. Seminar menghadirkan Ibu Dr. Ayu Helena Cornellia, B.A, M.Si, alumni S3 Kajian Pariwisata UGM. Seminar mengundang pula Prof. Drs. John Soeprihanto, MIM, PhD sebagai pembahas dan dimoderatori oleh Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc
Komunikasi Pemasaran yang merupakan salah satu bidang ilmu dalam Pemasaran secara umum dapat menjadi salah satu strategi bagi Museum untuk menciptakan rasa senang bagi pengunjung. Harus ada To Do, To See, To Buy dan To Experience. Yang terakhir ini (To Experience) menjadi hal yang sangat berkesan bagi Millenials yang memiliki jumlah target pasar terbesar di Indonesia saat ini.
Menurut Dr. Ayu Helena Cornellia, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Alvara Research Center (alvara-strategic.com), dikemukakan bahwa pada tahun 2020 ini Millenials adalah “The Rising Market” dan jumlah Millenials saat ini mendominasi market. Hal ini akan terus berlanjut kemungkinan sampai sekitar tahun 2035. Berdasarkan hal tersebut tentunya Museum sebagai Destinasi Pariwisata harus berbenah untuk memenuhi hal hal yang disenangi oleh generasi Millenial begitu pula generasi setelahnya sebut saja generasi Z atau generasi Alpha. Dalam studi ini ditemukan Sembilan perilaku utama generasi milenial Indonesia yaitu kecanduan internet, loyalitas rendah, cashless, kerja cerdas dan cepat, multitasking, suka jalan jalan, cuek dengan politik, suka berbagi dan yang terakhir kepemilikan terhadap barang barang rendah.
Dr. Ayu Helena Cornellia menambahkan dengan mengutip riset dari Jasmine Rahma Amalia (2020) mahasiswi Universitas Pertamina yang menyampaikan alasan kenapa Generasi Millenial Emoh ke Museum adalah kurangnya interaksi yang ada di Museum serta kurang proaktif dalam mengajak masyarakat untuk ke museum. Saat ini penting bagi museum untuk meningkatkan minat kunjungan masyarakat melalui unggahan informasi dan aktivitas di media sosial serta menguatkan electronic word of mouth (E-WOM).
Belajar dari krisis virus Corona 19 di era Industry 4.0 ini, diharapkan akan ada lesson learnt kedepannya yaitu mempersiapkan business agility yaitu kemampuan untuk berpikir dan memahami keadaan dengan cepat, kolaborasi yang konstan dan iterasi berkelanjutan. Selain itu Resilience atau sikap yang menunjukkan daya tahan dan tahan banting terhadap tekanan perlu untuk terus diupayakan.
Persaingan dengan destinasi atau atraksi pariwisata lain akan terus muncul apalagi di era disrupsi teknologi ini. Sehingga Museum perlu memiliki “Brand Standard” sendiri untuk selalu ada di hati.
Dr. Ayu Helena Cornellia memberikan tips dalam promosi museum yaitu: 1) Mengaktifkan dan meningkatkan Media Sosial, 2) Mengaktifkan dan meningkatkan traffic Website, 3) Mengadakan special events – online dan offline, 4) Perlunya Advertising dan kegiatan Public Relations dan 5) Melibatkan Millenial
Sedangkan pembahas, Drs. John Soeprihanto, MMI, PhD senada menyampaikan bahwa untuk dapat bertahan dan berkembang di era Digital dan pandemi Covid 19 serta mentargetkan Millenials, beberapa hal penting yang dapat dilakukan oleh museum adalah : 1) Mengembangkan media sosial, 2) Memiliki SDM yang mumpuni di bidang PR/Marketing 3) Product & Service yang menciptakan Guest Experience/Parcipatory dan 4) Sering mengadakan interactive event online atau offline 1 bulan 1 x
Selain itu Drs. John Soeprihanto, MMI, PhD dan Dr. Ayu Helena Cornellia setuju untuk menekankan perlunya diversifikasi event di Museum sebagai upaya promosi baik pada millenials maupun generasi sesudahnya yang nantinya akan menjadi market baru.