Pariwisata merupakan sektor yang unik karena untuk menjalankan sektor ini diperlukan kerjasama seluruh lapisan masyarakat yang secara sosial memberikan ruang gerak bagi perkembangannya. Hampir tidak mungkin pariwisata tumbuh tanpa keikutsertaan masyarakat secara aktif mempersiapkan destinasi, menjaga keamanan, melayani wisatawan dan mempromosikannya, atau dengan kata lain modal sosial diperlukan bagi pengembangan pariwisata. Hal ini menjadi bahan diskusi dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan #6, diselenggarakan oleh Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, UGM pada hari Selasa, 12 Januari 2021.
Berita
Idealnya sebuah destinasi wisata yang dibangun dengan basis warisan budaya seperti Kawasan Keraton Ratu Boko, harus bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Hal ini selaras dengan Pasal 3 UU Nomor 10 Tahun 2011 yang menyebutkan Pelestarian Cagar Budaya bertujuan: (1) melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, (2) meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya, (3) memperkuat kepribadian bangsa, (4) meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan (5) mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Indikator keberhasilan pengelolaan pariwisata warisan budaya seharusnya mencakup empat elemen penting yaitu: adanya aktifitas ekonomi, adanya dukungan sosial, adanya manajemen situs warisan, dan lingkungan situs pariwisata warisan yang selaras, mengutip dari Ngamsomsuke, Hwang, dan Huang (2011). Keempat aspek ini belum sepenuhnya tercapai dalam pengelolaan Kawasan Keraton Ratu Boko,
Pada hari Selasa 17 November 2020, Program Studi S2/S3 Kajian Pariwisata UGM mengadakan webinar nasional dengan tema Benang Kusut Pengelolaan Pariwisata Dieng. Pembicara pada diskusi ini adalah Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos, M.Si. Sebagai penanggap adalah Drs. Marsis Sutopo, M.Si. Moderator dalam diskusi adalah Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A.M, Phil. Webinar diikuti oleh sekitar 60 orang, baik mahasiswa, alumni maupun masyarakat umum.
Dr. Destha menyampaikan bahwa Dieng merupakan kawasan yang sangat unik, tidak hanya karena kondisi lingkungan yang subur untuk pertanian tetapi juga karena adanya keberadaan peninggalan arkeologi yang penting. Faktor iklim menjadi daya tarik pariwisata yang tidak ditemukan ditempat yaitu ‘embun upas’, semacam titik es seperti salju. Terdapat pula telaga warna, kawah Singkidang dan Kolam renang air hangat. Selain itu cerita rakyat dan kehidupan masyarakat masih menjunjung nilai nilai budaya seperti dalam dilihat dalam upacara ‘rambut gembel’. Sehingga secara potensi pariwisata Dr. Destha memandang Dieng Plateu cukup komplit sebagai destinasi karena memiliki atraksi alam, budaya dan keunikan spesifik.
Pada hari Selasa 3 November 2020, Program Studi Kajian Pariwisata UGM mengadakan webinar nasional Heritage Tourism di Surakarta Kota: Model Pengembangan Berbasis Kearifan Lokal? Pemantik diskusi adalah Dr. RR. Erna Sadiarti Budiningtyas, S.Sos, M.Sc, Dosen dan Peneliti Pariwisata ABA St. Pignatelli Surakarta, dengan penanggap Prof. M. Baiquni, MA dan dimoderatori oleh Dr. Tri Kuntoro Priyambodo, M.Sc. Webinar diikuti oleh 85 orang baik mahasiswa, alumni maupun masyarakat luas.
Surakarta yg memiliki dua keraton Kasunan dan Pura Mangkunegaran merupakan anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) sejak tahun 2008. Surakarta memiliki hampir semua aspek penting untuk pengembangan pariwisata seperti budaya yang dijunjung tinggi, bangunan sejarah, kuliner dan akses yang relatif mudah. Tetapi ternyata dalam perkembangannya, pariwisata di Surakarta tidak semeriah kerajaan tetangganya, Yogyakarta.
Gastronomi juga mencakup konsep baru dari pusaka budaya dan warisan budaya yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.Begitu kata Ketua Prodi Manajemen Industri Katering FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Dr. Dewi Turgarini., S.S., MM.Par saat menjadi pemantik diskusi bertema “Peluang dan Tantangan Wisata Gastronomi di Indonesia” yang digelar Program Studi Kajian Pariwisata UGM secara virtual, Selasa lalu.
Selain itu, wisata gastronomi juga berpotensi untuk membentuk toleransi karena sifatnya yang sangat cair lintas suku, bangsa, ras, kelompok agama dan gender.
“Setiap daerah memiliki ikon pariwisata yang bisa diangkat yang dapat dilengkapi dengan keberadaan gastronomi yang unik. Hal ini bisa menjadi sebuah ikon branding bagi sebuah destinasi, memberikan soft power bagi diplomasi, toleransi, mempromosikan budaya, identitas dan nilai, pencitraan serta pengamblian keputusan,” tuturnya.
Hanya saja, pengembangan pariwisata berbasis gastronomi masih terkendala. Di antaranya, belum disadari potensi makanan tradisional dan lokal sebagai daya tarik wisata.
Masyarakat, sambungnya, belum paham cara mengemas potensi tersebut sebagai atraksi wisata dan cara membuat produk dengan standar yang baik. Mayoritas juga belum punya jejaring antar stakeholder, belum paham penggunaan bahan baku lokal yang berkelanjutan menjadi kekuatan wisata gastronomi dan teknik pemasaran produk wisata gastronomi yang tepat.
“Belum ada juga pola, rute dan paket wisata gastronomi, belum ada sistem informasi dan digitalisasi yang memudahkan akses bagi wisatawan untuk berkunjung, belum diterapkannya strategi dan model pengembangan wisata gastronomi serta perlunya kolaborasi penelitian bersama pemerintah kota dan provinsi,” sambungnya.
Sementara dalam kondisi pandemi saat ini pengembangan industri pariwisata mengalami kendala. Dampak penurunan kinerja pariwisata terhadap UMKM yang bergerak di usaha makanan dan minuman (mamin) mikro mencapai 27 persen. Dampak terhadap usaha kecil mamin sebesar 1,77 persen dan usaha menengah 0,07 persen.
Untuk itu, dibutuhkan inovasi dari produsen dan pengelola jasa pariwisata. Dalam hal ini, pemerintah dapat membantu dengan melakukan berbagi upaya seperti melakukan inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, dan penyelamatan.
“Sudah saatnya bergerak dari diri sendiri dan bekerjasama dengan seluruh stakeholder secara konsisten melestarikannya. Dengan begitu kita dapat menuai kesejahteraan masyarakat dari aspek ini di nusantara,” tutupnya.
Webinar ini turut menghadirkan Dr. Hendri Adjie Kusworo sebagai penanggap dan Prof. Heddy Shri Ahimsa sebagai moderator. Webinar diikuti oleh 135 orang baik mahasiswa, alumni maupun masyarakat luas
1. Dr. Cecilia Hewlett, Associate Dean International
2. Associate Professor Vicki Peel, Deputy Associate Dean (Graduate Coursework)
3. Dr Bodean Hedwards, Project Manager, Faculty of Arts
4. Mr Kevin Evans, Indonesia Director of the Australia-Indonesia Centre
5. Selvi Tanggara, Monash Indonesia Representative Office
Dalam rangka menyambut mahasiswa baru MKP sekaligus keakraban antar angkatan, Program Studi Magister Kajian Pariwisata mengadakan kegiatan Outbond keakraban mahasiswa antar angkatan yang diselenggarakan pada:
Hari tanggal: Jumat 16 Februari 2018
Pukul: 08.30 sampai selesai
Dengan acara kegiatan:
1. Outbound keakraban antar angkatan
2. Orientasi judul dan pemantapan riset tesis.
3. Ramah tamah
Tempat: Kembang Sentikan RT 4. Ds Karangnongko. Desa Tirtomartani. Kec Kalasan. Kab Sleman
Baiquni menyatakan bahwa pembangunan destinasi pariwisata dapat mendorong pembangunan daerah, namun hal ini perlu diiringi kemampuan masyarakat guna mendukung investasi yang ditanam oleh para investor dengan output yang akan dihasilkan. Peran masyarakat daerah tidak boleh dihilangkan sama sekali dalam pembangunan destinasi pariwisata daerah. Karena masyarakatlah yang memahami kearifan lokal dan nilai-nilai di daerahnya. Modal dasar pariwisata itu alam dan budaya. Hak ulayat adat perlu dipertahankan begitu juga ekosistem. Untuk itu partisipasi masyarakat dalam pembangunan destinasi sangat diperlukan.
Guna mendukung hal tersebut menurut Baiquni pendidikan pariwisata bagi masyarakat daerah juga perlu mendapat perhatian karena ini merupakan investasi jangka panjang. Dari pendidikan pariwisata dapat menghasilkan research dan inovasi sehingga bisa langsung memberikan manfaat untuk dunia pariwisata. Selain itu masyarakat daerah juga perlu dibina untuk membangun kreatifitas agar investasi yang ada terserap dengan baik.
Dalam pembangunan destinasi pariwisata salah satu komponen penting yang harus dibangun adalah branding, yang berfungsi meneguhkan jati diri dan mengembangkan citra (encouraging) dari destinasi tersebut. Baiquni mengusulkan 10 destinasi pariwisata di daerah perbatasan, salah satunya di daerah Nunukan. Selain destinasi, marketing atau pemasaran juga merupakan hal penting dalam menarik wisatawan untuk datang dan menikmati destinasi pariwisata. Mengingat Indonesia memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan negara lainnya. “Dalam indeks daya saing pariwisata, Indonesia memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan negara lainnya”, ujar H. Asnawi Bar, S.E., M.Si selaku Ketua Asosiasi Travel Indonesia (ASITA). Keunggulan tersebut adalah price competitive, Prioritization of travel and tourism dan Natural Resources.
Senator asal NTB Baiq Diyah Ratu Ganefi meminta agar mengkampanyekan gerakan wisata murah. Hal ini harus diupayakan baik dari pemerintah maupun para pelaku bisnis di dunia pariwisata Indonesia guna menarik wisatawan lebih banyak. Pendapatan daerah meningkat dengan mudah, sebagaimana diketahui bahwa pariwisata merupakan penyumbang PDB dan devisa yang sangat murah dan mudah.
Kelembagaan kepariwisataan menurut Kosmian Pudjiadi Sekjen PHRI dalam pembangunan kepariwisataan nasional perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat harusnya bisa memberikan intensif ke asosiasi kepariwisataan, dukungan pemerintah belum cukup kuat sehingga tidak bisa berkompetisi dengan asosiasi luar yang memberikan harga jauh lebih murah dalam memberikan penawaran harga. Namun Kosmian memberikan apresiasi kepada pemerintah yang sedang mempersiapkan sertifikasi. Aparat daerah juga menurutnya perlu diperhatikan karena terkait dengan anggaran pengelolaan kepariwisataan daerah. (nis)
Demikian yang disampaikan Dr. Dyah Widiastuti, Sekretaris Pusat Studi Pariwisata UGM di sela acara Internasional Academic Conference on Tourism 2016 (INTACT) yang kedua di Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM pada Kamis, 29 September 2016. “Kita harus mengembangkan pariwisata tidak hanya berorientasi pada daratan namun juga berorientasi pada lautan dan konektivitas antar pulau dengan karakter yang berbeda-beda.” Papar Dosen Geografi UGM ini.
Menurut Dr. Dyah, saat ini, perjalanan wisata laut masih berorientasi pada kebutuhan dasar, bukan untuk kebutuhan wisata utama, yaitu kenyamanan, dan keindahan. Juga tidak tersedianya fasilitas penunjang seperti akses kesehatan dan komunikasi, masih menjadi masalah di wisata bahari saat ini. “Bukan soal jarak, namun keterjangkauan” tambah Dr. Dyah.
Seminar yang diikuti oleh dua ratusan peserta ini mengambil tema Wisata Bahari, dan terselenggara atas kerjasama Pusat Studi Pariwisata UGM – Kemenristek Dikti, Kementerian Pariwisata – PT. Lintas Ekowisata Indonesia dan Program Studi Kajian Pariwisata SPs UGM, sekaligus untuk menindaklanjuti Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi tentang negara maritim. Disisi lain, pengelolaan pariwisata berkelanjutan pada akhirnya akan menguntungkan bagi masyarakat luas.
Hadir sebagai pembicara, Prof. Richard Butler ahli pariwisata dari Scotlandia, Dr. Michael Lueck, ahli marine turism dari New Zealand, dan Prof. Dr.Heddi Shri Ahimsa Putra, dosen Antropologi UGM. (SPs/arni)
::source