Pariwisata masih menjadi sektor penyedia kesempatan kerja terbesar di Bali dan berkontribusi tinggi pada ekonomi Bali secara umum. Perkembangan kepariwisataan Bali dalam dua dekade terakhir (2000-2019) tetap didominasi oleh produk berupa atraksi-atraksi mass tourism. Salah-satu kecenderungan yang cukup menonjol dari trend tersebut adalah meningkatnya pertambahan atraksi-atraksi pariwisata baru yang sering dinobatkan sebagai atraksi pariwisata berbasis alam. Hampir di setiap kawasan strategis muncul atraksi pariwisata yang disulap dari sekedar atraksi budaya biasa menjadi kawasan tematik, seperti taman yang menghadirkan suasana alam bebas. Kendati demikian, di balik gemuruh perkembangan kepariwisataannya, Bali sebagai destinasi pariwisata, sesungguhnya menyimpan persoalan yang cukup serius, terutama dalam aspek keseimbangan sumber daya alam, kurang meratanya pembagian ‘kue pariwisata’ antar wilayah maupun lapisan masyarkat dan berkurangnya solidaritas sosial.
Bisnis makanan dan minuman adalah salah satu pendukung kegiatan pariwisata. Bisnis kuliner juga masuk 16 subsektor ekonomi kreatif yang memberikan kontribusi terhadap PBD yaitu 41,69%. Bisnis kuliner sangat berkembang di DIY. Hal ini dibuktikan pada tahun 2010, terdapat lebih dari 150 restoran menjadi anggota Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) dan 375 tempat kuliner tahun 2020. Dalam pengembangan wisata kuliner, servicescape merupakan konsep yang sangat penting untuk menjaga kesetiaan pelanggan kuliner. Servicescape adalah konsep yang menjelaskan gaya dan tampilan fisik dari kuliner. Servicescape adalah fasilitas fisik dalam pelayanan untuk kebutuhan tamu untuk mempengaruhi perilaku dan memuaskan tamu dimana design akan memberi dampak positif baik tamu maupun staf/karyawan. Namun demikian, konsen ini masih jarang diekplorasi didalam keilmuan pariwisata maupun diketahui oleh pengusaha kuliner.
Pariwisata yang berbasis Olah Raga atau ‘Sport Tourism’ pada decade ini mulai dipertimbangkan sebagai kegiatan yang menguntungkan dari sisi ekonomi dan pengembangan pariwisata. Dengan adanya event olah raga diharapkan akan mempromosikan destinasi, mendatangkan atlit dan para penontonnya, meningkatan ekspose destinasi secara lebih luas dan akhirnya meningkatkan pendapatan daerah. Namun demikian, apa yang terjadi jika sebuah event olah raga yg dilaksanakan setiap tahun ternyat tidak mendongkrak kunjungan wisata secara significan? Apakah kegiatan event ini menjadi mubadzir dan perlu dihentikan? Ataukah ada masalah di dalam menghitung kontribusi pariwisata terhadap daerah?
Tema “Pariwisata Edukasi di Yogyakarta: Antara Harapan dan Kenyataan” menjadi tema yang menarik sebagai agenda serial series #7 yang digelar Program Studi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada pada Selasa malam (26/1). Seminar menghadirkan pembicara Dr. Ani Wijayanti, MM, MM. Par. CHE, dosen Bina Sarana Informatika University, alumni S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM dan sebagai penanggap Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc, PhD dan Dr. Dyah Mutiarin selaku moderator.
Tahun 2020 merupakan tahun challenging untuk museum di Yogyakarta. Sejak pandemi Covid 19 masuk di Indonesia sekitar bulan Maret 2020, banyak museum yang tutup karena kondisi yang mengharuskan stay at home. Namun begitu, ada pula Museum yang tetap buka dan tetap menerapkan protokol kesehatan seperti Museum Sonobudoyo.
Sekitar bulan Oktober – November 2020, sudah banyak Museum di Yogyakarta yang kembali beroperasional seperti biasa walaupun tetap menggunakan protokol Kesehatan. Namun pertanyaannya “Apakah ada rasa rindu di hati masyarakat untuk tidak berkunjung ke Museum sekian lama?” atau malah “Tutup atau Nggak Tutup sama saja?”
Pariwisata merupakan sektor yang unik karena untuk menjalankan sektor ini diperlukan kerjasama seluruh lapisan masyarakat yang secara sosial memberikan ruang gerak bagi perkembangannya. Hampir tidak mungkin pariwisata tumbuh tanpa keikutsertaan masyarakat secara aktif mempersiapkan destinasi, menjaga keamanan, melayani wisatawan dan mempromosikannya, atau dengan kata lain modal sosial diperlukan bagi pengembangan pariwisata. Hal ini menjadi bahan diskusi dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan #6, diselenggarakan oleh Prodi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, UGM pada hari Selasa, 12 Januari 2021.
Idealnya sebuah destinasi wisata yang dibangun dengan basis warisan budaya seperti Kawasan Keraton Ratu Boko, harus bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Hal ini selaras dengan Pasal 3 UU Nomor 10 Tahun 2011 yang menyebutkan Pelestarian Cagar Budaya bertujuan: (1) melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, (2) meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya, (3) memperkuat kepribadian bangsa, (4) meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan (5) mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Indikator keberhasilan pengelolaan pariwisata warisan budaya seharusnya mencakup empat elemen penting yaitu: adanya aktifitas ekonomi, adanya dukungan sosial, adanya manajemen situs warisan, dan lingkungan situs pariwisata warisan yang selaras, mengutip dari Ngamsomsuke, Hwang, dan Huang (2011). Keempat aspek ini belum sepenuhnya tercapai dalam pengelolaan Kawasan Keraton Ratu Boko,
Pada hari Selasa 17 November 2020, Program Studi S2/S3 Kajian Pariwisata UGM mengadakan webinar nasional dengan tema Benang Kusut Pengelolaan Pariwisata Dieng. Pembicara pada diskusi ini adalah Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos, M.Si. Sebagai penanggap adalah Drs. Marsis Sutopo, M.Si. Moderator dalam diskusi adalah Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A.M, Phil. Webinar diikuti oleh sekitar 60 orang, baik mahasiswa, alumni maupun masyarakat umum.
Dr. Destha menyampaikan bahwa Dieng merupakan kawasan yang sangat unik, tidak hanya karena kondisi lingkungan yang subur untuk pertanian tetapi juga karena adanya keberadaan peninggalan arkeologi yang penting. Faktor iklim menjadi daya tarik pariwisata yang tidak ditemukan ditempat yaitu ‘embun upas’, semacam titik es seperti salju. Terdapat pula telaga warna, kawah Singkidang dan Kolam renang air hangat. Selain itu cerita rakyat dan kehidupan masyarakat masih menjunjung nilai nilai budaya seperti dalam dilihat dalam upacara ‘rambut gembel’. Sehingga secara potensi pariwisata Dr. Destha memandang Dieng Plateu cukup komplit sebagai destinasi karena memiliki atraksi alam, budaya dan keunikan spesifik.
Pada hari Selasa 3 November 2020, Program Studi Kajian Pariwisata UGM mengadakan webinar nasional Heritage Tourism di Surakarta Kota: Model Pengembangan Berbasis Kearifan Lokal? Pemantik diskusi adalah Dr. RR. Erna Sadiarti Budiningtyas, S.Sos, M.Sc, Dosen dan Peneliti Pariwisata ABA St. Pignatelli Surakarta, dengan penanggap Prof. M. Baiquni, MA dan dimoderatori oleh Dr. Tri Kuntoro Priyambodo, M.Sc. Webinar diikuti oleh 85 orang baik mahasiswa, alumni maupun masyarakat luas.
Surakarta yg memiliki dua keraton Kasunan dan Pura Mangkunegaran merupakan anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) sejak tahun 2008. Surakarta memiliki hampir semua aspek penting untuk pengembangan pariwisata seperti budaya yang dijunjung tinggi, bangunan sejarah, kuliner dan akses yang relatif mudah. Tetapi ternyata dalam perkembangannya, pariwisata di Surakarta tidak semeriah kerajaan tetangganya, Yogyakarta.