Pariwisata yang berbasis Olah Raga atau ‘Sport Tourism’ pada decade ini mulai dipertimbangkan sebagai kegiatan yang menguntungkan dari sisi ekonomi dan pengembangan pariwisata. Dengan adanya event olah raga diharapkan akan mempromosikan destinasi, mendatangkan atlit dan para penontonnya, meningkatan ekspose destinasi secara lebih luas dan akhirnya meningkatkan pendapatan daerah. Namun demikian, apa yang terjadi jika sebuah event olah raga yg dilaksanakan setiap tahun ternyat tidak mendongkrak kunjungan wisata secara significan? Apakah kegiatan event ini menjadi mubadzir dan perlu dihentikan? Ataukah ada masalah di dalam menghitung kontribusi pariwisata terhadap daerah?
Materi diatas menjadi diskusi yang menarik dilaksanakan oleh Prodi S3 Sekolah Pascasarjana UGM, pada hari Selasa, 23 Februari 2021. Hadir sebagai pembicara Dr. Retnaningtyas Susanti, M.Par dosen Universitas Negeri Padang, alumni S3 Prodi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM. Sebagai pembahas adalah Dr. Muhammad Yusuf M.A, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM dan dimoderatori oleh Dr. Dian Arymami, SIP, M.Hum.
Dr. Tyas, begitu beliau disapa, meneliti perkembangan dan dampak Tour De Singkarak terhadap pariwisata dan kontribusi ekonomi. Dia menemukan, ‘Ada kecemasan yang timbul dari pelaksanaan Tour De Singkarang yang dianggap tidak memberikan hasil signifikan secara ekonomi bagi daerah padahal penyelenggaraannya menghabiskan dana yang besar’. Tour De Singkarak adalah event olahraga sepeda tingkat internasional yang telah diadakan sejak 2019 melewati Danau Singkarak dan mengambil route sekitar Sumatera Barat. Pada 2020 dan 2021 Tour De Singkarak tidak dilaksanakan karena masa pandemi.
Menurut Dr. Tyas, meskipun secara signifikan jumlah kunjungan dan pariwisata tidak meningkat sebagaimana yang ditargetkan pemerintah daerah, tetapi karena adanya TDS daerah mendapatkan keuntungan dari aspek lain seperti terbukanya akses jalan baru, perbaikan jalan yang rusak, yang memberikan kenyamanan dalam berkendaraan dan mengurangi lama waktu perjalanan. Secara tidak langsung ini memberikan manfaat pada mobilisasi barang dan jasa bagi daerah. Selain itu, adanya pembangunan akomodasi baru di luar Padang dan Bukittinggi, sehingga daerah sekitar juga dapat merasakan kegiatan pariwisata.
Dr. Tyas juga menyebutkan bahwa dengan adanya TDS, pengelola destinasi bersemangat untuk memperbaiki kualitas destinasi ke arah standar internasional. Misalnya, toilet di Pantai Tirampadang diperbaiki sesuai standard, pedestrian di Pantai Padang tersedia dengan baik, dibangunnya Kawasan parkir Pantai Carocok dan Pantai Gondoriah. Kendati demikian Dr. Tyas mengatakan bahwa daerah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap penyelenggaraan TDS sehingga menganggap pelaksanaan TDS tidak efektif.
Sebagai penanggap Dr. Muhammad Yusuf mencoba menarik isu ini dalam tataran analisis ekosistem pariwisata. Dia berpendapat bahwa pariwisata berkaitan dengan banyak elemen dan sangat kompleks seperti budaya, keuangan, modal social, promosi, pasar, dan pemerintah. Sehingga dalam menganalisis keuntungan pariwisata diperlukan pemahaman yang kritis terhadap elemen lainnya. Menurutnya tidak bisa serta merta hanya melihat dampak ekonomi semata. Barangkali dengan adanya TDS akan memberikan dampak positif dari sisi social dan budaya, sisi optimism dan keterbukaan akses dan network, perbaikan image pemerintah dan destinasi secara global, dll.
Diskusi meluas pada perlunya menilik kembali metode analisis dampak pariwisata. Meskipun dampak pariwisata memiliki banyak pendekatan, namun belum ada yang benar benar bisa secara efektif memberikan gambaran pada seluruh elemen ekosistem. Demikian yang diungkapakan Prof. Heddy Shri Ahimsa dengan mengatakan, ‘Jangan terlalu terburu buru memberikan klaim bahwa kegiatan tidak bermanfaat sebelum melaksakan riset dengan metode yang tepat”. Dimana metode untuk menganalisis dampak dan manfaat juga menjadi PR bagi akademisi.
Seminar berlangsung dengan lancar diikuti oleh 110 peserta baik mahasiswa, praktisi pariwisata maupun masyarakat luas.