Bisnis makanan dan minuman adalah salah satu pendukung kegiatan pariwisata. Bisnis kuliner juga masuk 16 subsektor ekonomi kreatif yang memberikan kontribusi terhadap PBD yaitu 41,69%. Bisnis kuliner sangat berkembang di DIY. Hal ini dibuktikan pada tahun 2010, terdapat lebih dari 150 restoran menjadi anggota Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) dan 375 tempat kuliner tahun 2020. Dalam pengembangan wisata kuliner, servicescape merupakan konsep yang sangat penting untuk menjaga kesetiaan pelanggan kuliner. Servicescape adalah konsep yang menjelaskan gaya dan tampilan fisik dari kuliner. Servicescape adalah fasilitas fisik dalam pelayanan untuk kebutuhan tamu untuk mempengaruhi perilaku dan memuaskan tamu dimana design akan memberi dampak positif baik tamu maupun staf/karyawan. Namun demikian, konsen ini masih jarang diekplorasi didalam keilmuan pariwisata maupun diketahui oleh pengusaha kuliner.
Topik inilah yang diangkat dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #10, dengan tema Servicescape: Strategi Wisata Kuliner Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembicara pada seminar ini adalah Dr. Sri Sulartiningrum, alumni S3 Kajian Pariwisata UGM. Sebagai pembahas hadir Prof. Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc, dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan dimoderatori oleh Dr. Ir. Muhammad, ST, MT dari Sekolah Pascasarjana UGM. Seminar dilaksanakan secara daring pada tanggal 9 Maret 2021.
Dr. Ningrum menjelaskan bahwa dia melaksanakan riset guna mengetahui konsep servicescape dan strategi menarik pengunjung ke restoran etnik dan untuk menganalisis indikator dan kebermanfaatan servicescape bagi wisata kuliner. Dr. Ningrum mengambil studi kasus di restoran etnik Raminten, Bale Raos dan Mang Engking di Yogyakarta.
Dari hasil penelitiannya, Dr. Ningrum menyimpulkan bahwa masing masing strategi wisata kuliner di lokasi penelitian menunjukkan adanya faktor budaya yang dominan, dimana faktor budaya mampu merefleksikan servicescape. Pembicara merekomendasikan kepada pengelola restoran etnik untuk meningkatkan servicescape dari segi ambient, desain, citra, perilaku, produk, harga dan budaya supaya dapat meningkatkan loyalitas konsumen. Selain itu Dr. Ningrum menambahkan perlunya papan informasi yang dipasang uuntuk memudahkan pecinta kuliner menemukan restoran etnik tersebut. Dalam sisi akademis, Dr. Ningrum menekankan perlunya memasukan aspek budaya dalam konsep servicescape, untuk dapat menjadi variabel penting saat mengevaluasi servicescape.
Sebagai pembahas, Prof. Eni memberikan tanggapan bahwa kuliner dapat berfungsi sangat luas, tidak hanya tentang makanan dan minuman namun menyangkut aspek seperti identity (identitas), dignity (kedaulatan) dan bahkan nasionalisme. Terlihat saat ini masuknya budaya K-pop mempengaruhi selera makan anak anak remaja, terutama mahasiswa nya. Kuliner dapat menjadi media untuk akulturasi budaya dan menunjukkan kedaulatan sebuah bangsa. Sehingga Prof. Eni mendukung perlunya penajaman visi dan misi pengembangan kuliner nusantara karena memiliki peran ganda yang sangat bermanfaat baik untuk pariwisata, ekonomi, pemenuhan aspek pangan, tetapi juga kedaulatan sebuah bangsa.
Diskusi berlangsung dengan baik diikuti oleh sekitar 90 peserta baik mahasiswa, peneliti, pemerhati pariwisata maupun masyarakat luas.