Pariwisata masih menjadi sektor penyedia kesempatan kerja terbesar di Bali dan berkontribusi tinggi pada ekonomi Bali secara umum. Perkembangan kepariwisataan Bali dalam dua dekade terakhir (2000-2019) tetap didominasi oleh produk berupa atraksi-atraksi mass tourism. Salah-satu kecenderungan yang cukup menonjol dari trend tersebut adalah meningkatnya pertambahan atraksi-atraksi pariwisata baru yang sering dinobatkan sebagai atraksi pariwisata berbasis alam. Hampir di setiap kawasan strategis muncul atraksi pariwisata yang disulap dari sekedar atraksi budaya biasa menjadi kawasan tematik, seperti taman yang menghadirkan suasana alam bebas. Kendati demikian, di balik gemuruh perkembangan kepariwisataannya, Bali sebagai destinasi pariwisata, sesungguhnya menyimpan persoalan yang cukup serius, terutama dalam aspek keseimbangan sumber daya alam, kurang meratanya pembagian ‘kue pariwisata’ antar wilayah maupun lapisan masyarkat dan berkurangnya solidaritas sosial.
Topik inilah yang diangkat dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #11 yang diselenggarakan oleh Prodi S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM. Tema yang diangkat adalah ‘Dinamika Ekowisata Tri ning Tri di Bali’. Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. I Nyoman Sukma Arida, S.Si, M.Si dari Fakultas Pariwsata, Universitas Udayana. Dr. Sukma juga merupakan alumni dari S3 Kajian Pariwisata SPS UGM. Hadir sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc, guru besar Fakultas Geografi UGM dan dimoderatori oleh Bayu Sutikno, SE., M.S.M, Ph.D dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Dalam paparannya Dr. Sukma, mengatakan ‘Di tengah situasi demikian, sulit menemukan wujud dari ekowisata Bali. Namun beberapa pihak sejak tahun 1990 an tetap konsisten memperjuangkan berkembangnya ekowisata di Bali — Jaringan Ekowisata Desa.’ Belakangan beberapa desa wisata juga menjadikan aspek konservasi sebagai basis pengembangannya. Dr. Sukma menjelaskan tentang program pendampingan dan promosi desa wisata yang ia lakukan melalui godevi.id. Ada pergeseran nilai keotentikan dan orisinalitas alam Bali yang bercirikan pariwisata budaya yang bernafaskan filosofi Tri Hita Karana. Beberapa atraksi baru yang dikembangkan oleh investor asing dengan kekuatan yang besar akibat terbukanya kebijakan pemerintah untuk membuka investasi asing.
Dr. Sukma menjelaskan temuan dari hasil penelitiannya yang bertujuan untuk memahami tipologi ekowisata di Bali dan kekuatan dominan yang melatarbelakangi munculnya berbagai tipe, bentuk dan wujud produk ekowisata. Ia mengatakan bahwa di Bali ekowisata dapat ditipologikan dalam tiga tipe: yaitu investor, pemerintah dan masyarakat. Masing masing tipe ekowisata memiliki ciri yang berbeda berdasarkan produk, strategi pengembangan, pola pelibatan masyarakat dan karakter wisatawan.
Selain itu Dr. Sukma juga menyoroti adanya pseudo-ekowisata di Bali, atau ekowisata semu. Kegiatan pariwisata Nampak seperti ekowisata padahal peran masyarakat lokal di sekitar obyek ekowisata termarginalkan. Ia juga memberikan contoh kasus di Desa Taro yang muncul sebagai Gerakan desa wisata sebagai perlawanan halus atau counter wacana terharap hegemoni wisata gajah atau sebagai representasi investor besar. Desa Taro merupakan desa dengan tipe ekowisata Hibrid yaitu percampuran antara investor-pemerintah-masyarakat.
Dr. Sukma berharap pendemi Covid-19 dapat menjadi refleksi bagi destinasi wisata di Bali apakah benar yang dilakukan adalah benar benar ekowisata atau pseudo-ekowisata.
Sebagai pemapar Prof. Sudarmadji menyoroti pentingnya keberlanjutan desa wisata atau destinasi ekowisata. Bisa jadi permasalahan terjadi dari pengelolaan maupun dari wisatawan. Sehingga Prof. Sudarmadji menyarankan untuk selalu memperhitungkan kondisi lingkungan ketika mengembangkan obyek wisata yaitu dengan mempertimbangkan kapasitas jangan sampai terjadi overcapacity. Prof. Sudarmadji mengatakan, ‘Jangan sampai lingkungan diabaikan dan hanya berkonsentrasi pada kenaikan pendapatan dan kesejahteraan, karena jika daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui maka akan membuat kerugian yang lebih besar pada semua aspek.’
Diskusi berlangsung dengan baik diikuti oleh sekitar 160 peserta baik mahasiswa, peneliti, pemerhati pariwisata maupun masyarakat luas.