Tema “Pariwisata Edukasi di Yogyakarta: Antara Harapan dan Kenyataan” menjadi tema yang menarik sebagai agenda serial series #7 yang digelar Program Studi S2/S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada pada Selasa malam (26/1). Seminar menghadirkan pembicara Dr. Ani Wijayanti, MM, MM. Par. CHE, dosen Bina Sarana Informatika University, alumni S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM dan sebagai penanggap Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc, PhD dan Dr. Dyah Mutiarin selaku moderator.
Ani Wijayanti menyatakan tema pariwisata edukasi di Yogyakarta adalah tema yang menarik dan tema ini sekaligus menjadi topik penelitiannya saat menempuh program doktor S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM. Menurutnya, pariwisata di Yogyakarta berkembang sangat pesat dan mampu menyumbang pendapatan daerah yang cukup besar sekaligus menggerakkan perekonomian.
“Melihat potensi tersebut maka wisata edukasi menjadi sangat-sangat terbuka untuk dikembangkan dan memiliki prospek yang sangat bagus,” ujarnya.
Ia menilai dengan berkembangnya model pembelajaran yang sangat inovatif saat ini menjadikan wisata edukasi sangat mungkin untuk dikembangkan. Konsep-konsep pembelajaran di ruangan dan hanya dibatasi oleh gedung-gedung dan sekat ruang saat ini sudah berubah.
Kehadiran wisata edukasi ini tentu akan sangat diminati. Wisata edukasi ini sebetulnya sudah sejak lama dilakukan, dan wisata ini dikenal dengan istilah study tour yang dilakukan secara rutin oleh para pelajar/ mahasiswa.
“Sehingga mestinya wisata edukasi ini bisa dikelola dengan baik. Dengan melihat potensi yang sangat luar biasa, dari sebuah artikel saya membaca wisata edukasi menjadi destinasi wisata yang diminati sangat tinggi di Jakarta dan Bali, bahkan kalau liburan di DIY ini terlihat di padati bus-bus wisata yang isinya para pelajar dan siswa-siswa. Ini menunjukkan potensi yang sangat luar biasa,” katanya.
Menurutnya, bentuk dan jenis pariwisata selalu berkembang, dan kini tidak hanya wisata klasik saja tetapi telah mengalami pergeseran pada bentuk wisata yang memberikan nilai plus yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan. Wisatawan pun kini menginginkan pulang membawa ‘memorable knowledge’ sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka.
“Inilah yang menjadi dasar berkembangnya pariwisata berbasis edukasi. Sayang, di DIY model pengelolaan pariwisata edukasi belum tersedia dengan baik, belum masuk dalam perencanaan maupun peraturan, baik PERDA DIY No 1 Tahun 2012 – tentang RIPPARDA DIY 2012-2025, sehingga pengelolaan yang ada cenderung trial and error, dan memberi hasil yang kurang pasti dan kurang optimal,” terangnya.
Melakukan kajian wisata edukasi di Yogyakarta, pembicara mengamati empat destinasi wisata edukasi dengan karakter yang berbeda-beda yaitu Taman Pintar yang berbasis teknologi, Kraton Yogyakarta yang berbasis budaya, Benteng Vredeburg yang berbasis sejarah dan Museum Biologi yang berbasis untuk mata kuliah pembelajaran. Keempatnya menarik tetapi sebagian besar belum menerapkan konsep-konsep pariwisata edukasi.
Misalnya dalam wisata edukasi itu harus menyajikan pengalaman dan bagaimana paket wisata harus didesain yang bisa menyajikan kelas dan lapangan. Harapannya ada link and match antara yang dipelajari di kelas kemudian ke lapangan sehingga wisatawan bisa mendapatkan pendalaman materi yang sudah diperoleh.
Menurut Ani, hal tersebut di atas hingga kini belum terbentuk. Banyak pihak belum pernah mengadakan duduk bersama membahas apa-apa yang menjadi kebutuhan sekolah dan mana-mana yang kemudian harus dikelola sebagai destinasi wisata.
“Kalau itu bisa didesain paket wisata, wisata edukasi sangat menarik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak-anak akan komprehensif, memperkuat ilmu yang diperoleh di sekolah. Tetapi yang terlihat sekarang studi tour terkesan anak-anak berjalan sendiri. Walaupun ada beberapa yang terkoordinasi dengan baik, bahkan guide di Kraton menyebut susah mau menjelaskan karena terkadang mereka jalan sendiri. Ya pada akhirnya menyerah dan hanya menjelaskan pada mereka yang mau-mau saja,” ungkap Ani.
Ani menyarankan sebaiknya dilakukan pembekalan sebelum melakukan study tour sehingga muncul sinergi ketika sampai di lokasi. Jangan sampai anak-anak (wisatawan) tidak mendapat apa-apa dan itu sangat disayangkan.
Perlu dilakukan pula konsep tutorial dan eksplorasi sehingga pelajar pada saat melakukan perjalanan wisata edukasi ada beberapa tahapan yang harus ditempuh. Mereka sebaiknya tidak langsung masuk ke objek wisata, melihat-lihat, melakukan selfie tanpa mengerti isi dari tujuan wisatanya.
“Seharusnya ada tutorial dan eksplorasi, anak-anak diberikan dasar pengetahuan dulu dan disini dibutuhkan pemandu yang atraktif dan komunikatif sehingga pelajar memiliki pemahaman awal sehingga kemudian dipersilakan untuk eksplorasi. Seperti benteng Vredeburg, disitu ada diorama-diorama sehingga jika pelajar tidak tahu alurnya, dan hanya melihat yang hanya disukai maka ia tidak akan mengerti,” sebutnya.
Ani menambahkan dalam wisata edukasi itu ada hidden curricula atau kurikulum tersembunyi. Karenanya perjalanan wisata edukasi perlu dirancang sedemikian rupa sehingga akan berguna untuk memperkuat proses pembelajaran di sekolah.
“Kalau didesain dengan baik itu akan menjadi kurikulum tersembunyi dan bisa menjadi mata pelajaran tertentu. Aktivitas pembelajaran yang baik, edukasi yang baik yang mendukung pembelajaran mampu memberi retensi atau daya ingat yang tinggi ke anak. Ingatan edukasi wisata memberi sesuatu yang dalam maka akan ada pengalaman-pengalaman yang bisa dibagikan untuk orang lain,” imbuhnya.
Sementara itu, Prof. Kwartarini sebagai penanggap menyatakan pengalaman berwisata tidak dapat dibagikan secara “utuh”, sebab pengalaman dibangun dari cognitive, affective dan behaviour repertoire yang pastinya berbeda antara satu wisatawan dengan wisatawan yang lain.
“Karena itu, pengelola harus mampu menghadirkan keunikan dan atraksi yang memorable bagi wisatawan. Hal ini seharusnya tidak sulit mengingat Indonesia memiliki 1.128 kelompok etnik, 700 bahasa dan dialek yang tersebar di 17.405 pulau,” katanya.